Refleksi Live in
Sanggar Akar
OLEH: HENDRY LIMANDRY
Betapa beruntungnya aku ini. Sebagai seorang anak muda Jakarta yang tak pernah lepas dari kenyamanan, kemewahan, kesibukan, dan berbagai tuntutan lainnya, aku mendapat kesempatan untuk melihat sisi kehidupan dari sudut yang berbeda. Sejenak aku meninggalkan rutinitasku, mencoba membuka mata hati lebih lebar lagi untuk melihat hal yang mungkin tak pernah aku sadari.
Jakarta memang terkenal akan gedung – gedung mewah, namun jangan lupa bahwa sesungguhnya rumah – rumah kumuh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah gedung – gedung dan bangunan mewah. Jakarta terkenal akan orang – orang sukses dan berpendidikan tinggi, tetapi jangan salah duga bahwa lebih banyak orang – orang yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari, apalagi untuk memenuhi tuntutan pendidikan yang jumlah nominalnya bisa menarik urat nadi mereka yang kurang mampu.
Aku adalah salah seorang siswa seminari. Ada 9 orang siswa seminari yang mengikuti program live in. Kami dibagi menjadi 3 kelompok dengan pembagian tempat yang berbeda – beda. Medan utama kami adalah mengenal kehidupan di kota besar ini, Kota Jakarta. Aku mendapat “jatah” untuk mengamati kehidupan di sebuah sanggar. Sanggar, tempat anak – anak jalanan mengolah dan mengisi waktu hidup mereka. Sanggar akar namanya. Namanya memang sudah tak asing lagi di seputar pendengaranku, namun masih asing di pikiran dan pengalamanku. Aku mencoba menerka – nerka bagaimana suasana dan rupa dari Sanggar Akar tersebut. Ada berbagai rasa juga di dalam hati, senang, berharap bisa berbagi dengan mereka, semangat akan tantangan yang akan dihadapi, ragu – ragu, penasaran, takut, dan lain- lain. Aku pun berpikir di dalam hatiku, apakah mereka bisa menerima aku, ataukah mungkin mereka akan bingung melihat kami, terutama pribadiku sendiri. Aku sering bertanya – tanya juga, aku memang lahir dari keluarga yang mampu. Di seminari, memang tak semua seminaris berasal dari keluarga yang mampu. Namun mereka sering berpikiran negatif tentang aku. Entah pamongku atau pun teman – temanku. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Memang aku punya beberapa baju bagus, tetapi itu dari orang tuaku, aku tak pernah meminta kepada orangtuaku sendiri. Pendapat ini yang selalu ku pegang, aku ingin menjadi aku yang apa adanya. Aku tak mau berpura – pura sederhana, aku pun tak mau berpura – pura mewah. Terserah mereka mau bilang apa. Memang orang mampu tak boleh masuk seminari? Atau apakah orang mampu tak boleh mencoba hidup bersama orang – orang kecil? Pemikiranku ini menguatkan aku. Pergi ke sanggar dan jadilah dirimu apa adanya, Iman adalah Iman.
Senin, 9 Februari 2009
Pagi – pagi aku bangun. Ibadat pagi, misa, dan sarapan.
Setelah sarapan, aku menyiapkan kembali barang – barang yang harus kubawa. Aku membawa 6 buah baju dengan rencana 2 baju akan kuberikan kepada 2 orang anak jalanan di sana, alat mandi, dan 2 celana pendek. Sekitar pukul 07:30 aku berangkat bersama tiga orang rekan sepanggilanku, yaitu Eno dan Carol. Aku berjalan keluar gerbang sambil mendengarkan cerita Eno tentang pengalamannya live in di Sanggar Akar. Dia pernah pergi ke Sanggar Akar, sedangkan aku dan Carol, menatap tempatnya lewat foto pun belum.
Kami naik angkutan Kota (saya lupa nomor berapa saja).
Setelah beberapa lama, Eno mengetuk langit – langit angkot yang kami tumpangi. Mobil umum itu pun berhenti. Ternyata kami telah tiba di tempat yang kami tuju. Kami menyebrangi jalan dan berjalan kaki ke sanggar tersebut. Ternyata letak sanggar tidak tepat di pinggir jalan, tetapi masuk melalui sebuah jalan kecil. Berbatu dan becek sedikit berlumpur. Rasa penasaran semakin meluap – luap nggak karuan.
Akhirnya kami tiba. Aku melihat sebuah bangunan dengan halaman yang lumayan besar, berpagarkan bambu. Lalu aku terus melangkah kedalamnya hingga aku melihat seperti sebuah kelas. Jangan berpikir bahwa rupanya seperti kelas pada umumnya. Ukurannya sekitar 2,5 x 3,5 meter. Temboknya setengah jadi, dalam arti masih terlihat bata merahnya, suasananya agak remang – remang karena hanya diterangi sebuah lampu yang sebenarnya sudah tak begitu baik. Di dinding ada sebuah whiteboard. Lantai tanpa ubin, hanya dilapisi oleh semen, dan juga tanpa bangku dan kursi. Jadi anak – anak sanggar tersebut duduk di lantai sambil menulis. Lalu kami bertemu dengan seorang pemuda dengan perawakan sedikit tinggi dan mereka menyambut kami. Ia menyambut kami padahal dia belum tahu siapa kami. Setelah menyambut dia baru bertanya amu ketemu siapa. Lalu saya berikan surat yang dititipkan oleh Fr. Hepi melalui saya. Di atas kertas itu tertulis sebuah nama, yaitu Bapak Arip. Lalu pemuda itu mempersilahkan kami duduk sementara dia memanggil Bapak Arip tersebut.
Sambil menunggu, aku duduk sambil melihat – lihat sekitar. Bangunan ini seperti rumah susun yang pernah aku lihat di dalam film Kung Fu Hustle. Lalu tiba – tiba muncul banyak pertanyaan di dalam pikiranku. Sanggar ini dapat biaya dari mana? Apakah mereka terikat jadwal juga seperti aku yang tinggal di seminari? Apakah setelah lulus dari sanggar ini, ijazah pendidikan mereka akan diakui oleh perguruan – perguruan tinggi di luar sana? Bla...bla...bla...Belum selesai aku bertanya – tanya di dalam hati, datanglah seorang bapak mengenakan pakaian seperti sweater lengan panjang berwarna coklat tua, menggunakan tas selempang berwarna hitam, menggenggam 3 spidol boardmarker di tangan kirinya. Potongan rambutnya mirip Pak Slamet, guru geografiku di SMA Gonzaga. Aku berpikir, dia pasti guru. Ternyata itulah Bapak Arip yang kami nanti – nantikan dari tadi. Ia memegang surat dari Fr. Hepi dan membukanya sambil bertanya, “Kalian dari SMA Gonzaga ya?” Lalu kami serempak menjawab, “ya.” Lalu kami menjelaskan maksud dan tujuan kami datang ke tempat itu. Lalu Bapak Arip menyebut nama Bekti, Hena, dan Vano. Saya terkejut kenapa bapak ini tahu mereka.
- - - - -Ternyata Fr. Hepi salah menulis nama kami - - - - - -
Lalu Bapak Arip membawa kami ke kamar dimana kami akan melepas lelah dan suntuk kami. Kami meletakkan tas kami dan barang bawaan kami. Ternyata kami masih harus menunggu Bapak Susilo, pimpinan di Sanggar Akar tersebut, karena beliaulah yang akan menentukan kegiatan apa saja yang akan kami jalankan. Setelah beberapa lama, akhirnya Bapak Susilo datang juga dan kami dibawa ke kantornya. Suasana kantornya masih bertembok setengah jadi juga, remang – remang juga, tetapi ada komputer di dalamnya. Aku berkata di dalam hati,”Oh,, ini kayak romo rektor kalau di seminari.” Lalu Pak Susilo menyampaikan banyak hal kepada kami mengenai sanggar, mengenai cara pendidikan di Gonzaga menurut keadilan di pikirannya. Sekitar 2 jam kami berbincang – bincang dengan Pak Susilo. Lalu kami diminta untuk membantu membereskan perpustakaan. Perpustakaan mereka rata – rata berisi buku sekolah, beberapa buku novel dan juga buku – buku discovery tentang flora dan fauna.
Setelah kami selesai membereskan susunan buku tersebut, kami beranjak kembali ke kamar. Lalu kami beristirahat, tidur untuk melepas segala lelah kami. Di hari pertama ini memang tidak ada pekerjaan yang bisa kami kerjakan, sehingga kami mengisi waktu kami dengan ngobrol di kamar dan juga tidur.
Kami tertidur sampai pukul 06:00.
Setelah kami berdua bangun, kami turun ke lantai paling bawah dan kami bertemu dengan 3 orang anak kecil. Mereka sedang asyik bermain lempung. Membentuk tanah liat tersebut menjadi berbagai rupa. Salah seorang anak itu berkata kepadaku,”Bagi kami, lempung ini sangat berharga.” Rasa – rasanya di Wacana Bhakti tanah liat seperti itu dianggap sebagai kotoran, tetapi bagi mereka itu adalah sebuah permainan yang sangat berharga. Aku menyadari kini bahwa sesuatu yang tidak berharga bagi kita, belum tentu tak berharga bagi orang lain. Setiap manusia mempunyai kesenangan mereka masing – masing, maka kita harus menghargai segala yang ada di sekitar kita, meskipun itu tanah liat sekalipun. Sering aku kesal dengan banyaknya jumlah sampah yang ada di sekitar lingkunganku, namun ketika aku melihat kehidupan para pemulung, mereka akan sangat bahagia berada di lingkungan yang penuh dengan sampah karena itulah yang menghidupi mereka. Bayangkanlah, sampah yang kita buang, dapat mempengaruhi ribuan nyawa pemulung. Sungguh sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Aku juga bertemu dengan seorang anak sanggar yang berusia 20 tahun, wanita, tomboy, Desboy namanya. Orang – orang memanggilnya Desboy. Dugaanku kata boy itu muncul karena tingkahnya yang kelaki – lakian. Ia menuturkan banyak cerita di hari itu. Ia bercerita tentang pengalaman buruk di dalam keluarganya. Yang ku tangkap, ia tinggal di lingkungan yang keras. Ia mengatakan bahwa orang tuanya sering memukuli anak anaknya. Cerita yang cukup megiris hatiku adalah ketika ia berkatea bahwa ayahnya pernah menendang kepalanya dan adik – adiknya. Ia juga punya seorang adik yang tinggal di dalam sanggar itu juga. Adiknya mempunyai kelainan seksual dan yang paling menarik untukku adalah dia seringkali menyampaikan cerita yang tak masuk di akal. Ia ingin sekali dipuji dengan cara menyampaikan cerita yang menempatkan dirinya sebagai tokoh yang hebat atau pahlawan. Satu hal yang kutangkap adalah mereka butuh perhatian. Entah dari siapa, tetapi perhatian itu sangatlah penting bagi mereka. Di dalam sanggar, mereka mendapatkan perhatian dari para pengasuh dan pembimbing, juga dari teman – tenman mereka sendiri. Oleh karena itu, aku memberikan perhatian kepada mereka dengan cara tersenyum, atau pun mendengar cerita mereka. Sekali lagi, suatu hal sederhana yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, sebuah senyuman pun dapat mempengaruhi hidup seseorang.
Hari ini berlalu tanpa kegiatan yang padat, hanya berbincang – bincang, lalu berjalan di sekitar daerah tersebut. Kami menelusuri tepian Kali Malang, dan melihat – lihat suasana yang sudah jarang kami lihat. Susana jalanan Jakarta di malam hari.
Sekitar pukul 10:50, kami tidur dan kami bersiap – siap untuk menerima tugas di hari berikutnya. ZZzzzzzzz..............
Selasa, 10 Februari 2009
Rencananya kami bangun pukul 06:00 pagi, kenyataannya kami bangun pukul 08:00 pagi. -_-!
Aku bangun awal, lalu mandi dan sarapan bersama anak – anak sanggar. Ternyata lauk yang mereka sediakan tidak jauh berbeda dengan lauk di seminari. Ada sebuah kejadian menarik yang kudapat pagi ini. Ada beberapa anak sanggar yang sudah cukup besar menjahili seorang anak yang mungkin masih duduk di bangku SD. Leman namanya. Awalnya mereka memang becanda, tetapi ujung – ujungnya mereka berkelahi. Memang tidak sampai pukul – pukulan, tetapi nuansa kekerasan masih lekat pada sikap dan kelakuan mereka. Tertampil sebuah kenyataan bahwa seorang ego terbentuk dari lingkungannya. Seperti misalnya pohon kaktus dan pohon beringin. Pohon kaktus dibentuk di tengah – tengah suasana yang keras, panas, sedikit air, sehingga dia mempunyai sosok atau bentuk yang berbeda dengan pohon beringin yang hidup di daerah tropis. Maka aku mempunyai sebuah kesimpulan di dalam pikiranku, bahwa keluarga dan pergaulan, pokoknyu segala yang bersentuhan atau berkontak langsung dengan indera kita, itulah yang akan membentuk sebuah kepribadian manusia. Leman adalah anak yang tergolong masih baru. Ia akhirnya ingin pulang, akibat kelakuan kaka kelasnya tersebut. Desboy pun menegur anak – anak yang jahil tersebut. Menurut pandangankau sendiri, teguran dari Desboy sangatlah berasalan. Alasannya adalah mereka lebih tua, seharusnya bisa bersikap lebih dewasa, yang kedua adalah Leman masih anak – anak dan masih baru. Namun teguran dari Desboy ini ditangkap lain oleh orang – orang tersebut. Mereka malah marah dan memaki Desboy sehingga perang mulut pun terjadi saat itu.
Sekitar pukul 09:00, kami mendapatkan tugas untuk mengajar anak – anak SD. Kami diminta untuk mengajar tentang ilmu sosial. Aku bukanlah seorang yang ahli dalam mengajar, maka yang mengajar adalah Eno dan Carol, sedangkan saya hanyalah membantu mereka.
Siangnya sehabis makan siang, kami pergi ke jalanan untuk mengamen. Eno, Carol, dan aku sendiri, ditemani oleh Desboy dan Leman mengamen di perempatan jalan. Awalnya kami mengamen berpasangan, dalam arti berdua – dua. Mula – mula Desboy sendiri, lalu aku beserta Eno. Nenek – nenek tua usia 300 tahun pun pastinya tahu bahwa aku bukanlah seorang pengamen, karena ada rangkaian kawat yang menempel di gigiku. Sebuah bukti permanen yang tak bisa terelakkan. Maka aku di situ tidak menempatkan diriku sebagai pengamen, tetapi sebagai seorang anak muda yang mau terlibat dan mau merasakan kehidupan orang – orang kecil. Pada kenyataan di lapangan, orang – orang menyangka kami bertiga adalah mahasiswa ospek, sehingga kami mendapat uang cukup banyak. Satu mobil bisa memberikan uang berkisar Rp 3.500,- sampai Rp 5.000,- pada kami. Meskipun memang ada beberapa yang memberikan Rp 500,-. Tetapi pendapatan kami cukup banyak hari itu. Berapa nominalnya, aku tak tahu persis. Lalu kami pindah tempat. Kami mengamen di dalam bis. Tetapi karena jumlah kami kali itu adalah 5 orang, maka tak mungkin seluruhnya dari kami bisa mengamen. Maka 2 orang berperan sebagai penumpang, dan 3 orang lagi sebagai pengamen. Yang mengamen ketika itu adalah aku, Eno dan Desboy. Sedangkan Carol dan Leman berperan sebagai penumpang dan membayar ongkos perjalanan.
Aku bermain gitar, Desboy yang bernyanyi, dan Eno yang memunguti uang. Begitulah, rasanya memang sulit hidup di jalanan. Cukup melelahkan juga. Tetapi sekali lagi aku cukup bangga dan merasa sangat beruntung bisa menjalankan tugas ini.
Akhirnya sampailah kami di Priok. Lalu kami mengunjungi rumah Leman. Leman ingin pulang, mungkin untuk menenangkan diri. Rumahnya sangatlah kecil dan terlihat jelas bahwa ayahnya adalah seorang pemulung. Mereka tinggal di Tanah Merah. Kawasan ini memang terlihat biasa saja dari luar. Tetapi jika anda masuk ke dalamnya, situasinya akan sangat menyedihkan. Daerah itu sebelumnya adalah rawa – rawa. Rumah yang dibangun, salah satunya rumah leman, berlantaikan air yang berbau dan juga disertai dengan sampah – sampah sisa rumah tangga. Bapak Leman berkata,”Maaf, beginilah rumah kami, hidup bersama kuman – kuman.” Ayahnya bercerita banyak tentang hidup. Inti dari ceritanya adalah tak perlulah menjadi seorang baik, cukup belajar baik. Ya, inilah kenyataannya bahwa hidup di Jakarta memanglah tidak mudah.
Lalu kami pergi juga ke rumah Desboy. Rumahnya sedikit lebih baik meskipun belum bertembok. Mempunyai rumah bertembok adalah impiannya. Sunguh mimpi yang sangat sederhana, namun bermakna. Kami mengobrol di rumah Desboy bersama keluarganya hingga pukul 18:00. Lalu kami pamit untuk pulang.
Sekitar pukul 18:30 kami tiba di sebuah halte di Priok. Di sana kami beristirahat sejenak. Setelah beberapa lama, kami melihat ada seorang bapak ( mungkin pekerjaannya adalah tukang ojek) memukul seorang anak jalanan. Tak bisa menahan emosi, anak jalanan itu pun melawan. Mereka hampir saja berkelahi di pinggir jalan tersebut. Melihat itu, teman - tamannya yang juga masih anak – anak lari menghampiri dan membela si anak jalanan tersebut. Begitu juga seorang tukang parkir datang dan menahan pukulan si tukan ojek tersebut. Aku sendiri tak terlalu mengerti duduk permasalahannya, yang jelas suasana di situ sangatlah keras.
Aku kini mengerti, bahkan sangat mengerti bahwa memang hidup di sebuah tempat yang suasana sehari – harinya keras, akan menjadikan anak – anak tersebut memiliki sifat yang tak jauh berbeda. Maka pelajaran ini dapat ku bawa ke asramaku nanti, bahwa sikap kakak kelas itu membentuk juga karakter dari adik – adik kelasnya. Dengan begitu sifat dari kakak – kakak kelas pun menentukan karakter dari Wacana Bhakti sendiri.
Rabu, 11 Februari 2008
Kami bangun pukul 07:00 bersama yang lain. Seperti biasa kami langsung mandi dan sarapan bersama mereka. Hari ini kami mendapatkan tugas untuk mengajar tentang Air dan Udara. Saya bersama Carol mengajar pada hari itu.
Siangnya setelah makan siang, kami pergi kembali ke daerah Priok untuk memulung sampah. Kami kembali masuk ke daerah rumah Desboy dan di sana kami meminjam sebuah gerobak untuk mengumpulkan sampah. Aku menarik gerobak, Eno membantu mengambilkan sampah dan Carol membawa karung untuk mengumpulkan samapah di dekat rumah – rumah. Tak mudah untuk menarik gerobak tersebut karena geroabk tersebut memang agak besar. Sesungguhnya yang menyulitkan adalah posisi dari roda di gerobak tersebut. Roda terletak di sisi luar gerobak, sehingga gerobak sering nyangkut –nyangkut gitu deh....
Belum berjalan lima meter, gerobak nyangkut di belokan gang.....
Lalu kami berkeliling – keliling ke jalan raya. Semua orang melihat ke arah kami bertiga. Berkali – kali kami dikira mahasiswa yang sedang di MOS. Tak ada pengalaman yang “Wah” dalam memulung hari ini, yang pasti semua orang bingung, ngapain nih anak – anak kota jadi pemulung? Dalam hatiku semoga mereka bisa mengerti bahwa di masa – masa ini pun masih ada orang – orang muda yang mau peduli dan mau merasakan bagaimana rasanya hidup menderita, jauh dari kenyamanan yang selalu di tawarkan di daerah kami.
Banyak celetukan – celetukan ku dengar dari orang – orang yang kami lewati. Terutama ketika kami melewati sekolah Cikini, ada seorang siswi berkata pelan, tapi aku mendengar, kira – kira seperti ini,”Ih, pemulungnya ganteng.” hehe.........( Tapi pastinya bukan buat gue tuch kata – kata ....seandainya ya....hehe....)
Yang menyakitkan hati adalah setelah kami bekerja sekian lama, kami hnya mendapat sekitar 4 kg sampah plastik dan kami hanya diberi upah sebesar Rp 6000,-. Buat bertiga????? Seandainya kami bertiga benar – benar pemulung, makan telek bebek deh.....
Oh, ya , kami juga diusir oleh pedagang warung karena ingin mengambil “koleksian botol – botol” kosongnya. Ternyata mereka juga sama seperti kami, senang mengoleksi botol – botol bekas....Mungkin suatu hari ini bisa menjadi sebuah hobi yang bagus.....
Ya, begitulah...pengalaman kami di sana....Hal yang menarik adalah di Kota Jakarta ini, orang bisa hidup dari sampah. Di desa saja tak ada pekerjaan seperti itu. Di Kota Jakarta yang namanya mendunia banyak orang yang membangun rumahnya di atas rawa yang berbau busuk. Di desa saja masih beralaskan tanah. Maka jangan pernah berpikir bahwa hidup di kota itu lebih baik. Menurut pandanganku sendiri, yang lebih baik hanyalah fasilitas dan gengsi. Tetapi kalau anda mau mencari kenyamanan, keamanan, sikap saling menghargai, persaudaraan, itu akan sangat jarang anda temui di Jakarta ini. Mencari hal – hal tersebut bagaikan mencari badak bercul satu. Mungkin lama – lama di Kota Jakarta ini akan di bangun Penangkaran Orang – Orang Baik. Idealnya adalah orang – orang baik yang bebas dan orang – orang criminal yang dikurung. Mungkin untuk kondisi sekarang ini menjadi terbalik. Orang – orang baik yang terpenjara oleh orang – orang kriminal (bukan orang – orang terpidana, tetapi kriminal secara moral).
Mungkin jika dibuat sebuah kurva, kemewahan dan kemurahan hati menjadi berbanding terbalik. Meskipun memang kita tak boleh memandang ini secara mutlak. Toh masih ada juga orang – orang yang mau peduli. Adanya sanggar itu adalah bukti bahwa kebaikan dan kepedulian masih hidup di kota besar ini. Teruslah berkembang dan jangan pernah merasa aku yang paling menderita, aku yang paling susah.
Jangan Mengeluh Meminta Sepatu Baru, Sebelum Kamu Melihat Orang yang Tak Punya Kaki. Itulah prinsipnya. Saling membantu satu sama lain dan syukurilah segala yang ada padamu sekarang ini.
*******