Panggilan : Sebuah Proses Panjang
Eduard Salvatore da Silva - Desember 2008
Ketika ku mulai untuk menggambarkan apa yang disebut panggilan bagiku, justru yang muncul adalah “sulit diungkapkan dengan kata-kata”. Ya, memang bagiku panggilan adalah proses pencapaian tujuan hidup manusia yang dijalani dan diperjuangkan selama proses hidup itu sendiri. Jadi, kalau sekarang saya mendeskripsikan panggilan, itu adalah satu proses dinamika yang mengasyikan.
Tak terasa aku mengenal istilah panggilan hidup kurang lebih dua setengah tahun ini. Kami yang didik dalam suatu kesatuan komunitas yang disebut seminari, intinya mengarahkan seseoarng untuk mencapai panggilan hidup yang paling sesuai bagi hidupnya. Aku, yah…ketika aku melihat motivasi awalku masuk dan bergabung dengan komunitas ini amat sederhana. Saya hanya memikirkan hal-hal pratis dan hal-hal yang bisa membuat saya terlihat keren jika saya bisa sekolah mandiri, berasrama, mampu mengatur diri sendiri, tidak tergantung keluarga lagi. Aku yakin akan mampu menemukan sesuatu yang mungkin bisa jadi gambaran besar diriku kelak, di masa yang akan datang.
Karena kebodohanku, dimana mataku terhalang oleh motivasi-motivasi yang semu ini. Ketika saya memiliki satu momen menyadari apa yang akan mulai saya jalani (masuk seminari maksudnya), saya akan bergabung dengan orang-orang dewasa, bertanggungjawab, mandiri dan terpanggil untuk berkarya khusunya jadi sorang imam. Ah……imam seakan saya baru tersadar bahwa ternyata seminari adalah tempat pendidikan, khusunya bagi para calon imam. Namun setelah kurenungkan kembali ya…. Ikut dan lihatlah.......seperti kata Yesus sendiri.
Dengan ini dimulailah perjalananku di tempat yang terasa asing bagiku. Apa ya yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Beberapa bulan pra-masuk seminari, saya tergerak untuk membiasakan diri melakukan kegiatan yang akan saya jalani, misalnya belajar cuci baju, setrika, bersih-bersih rumah dan kegiatan lainnya. Dari hal kecil macam itu, ternyata orang-orang di rumah saya kaget dengan kesungguhan saya mempersiapkan diri. Kalau dipikir-pikir saya sendiri bingung dengan motivasi serius tapi santai yang muncul dari benakku. Tetapi semua itu menjadi bumbu penyedap motivasiku, dalam menapakai segala tantangan.
Tanggal dua belas Juli tahun dua ribu enam menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupku. Ya, saat itulah ku memasuki masa-masaku di seminari, tempat tinggal baruku. Proses MOSB yang begitu beratnya menjadi bumbu manis bagiku mengantarku masuk sebagai komunitas baru yang tidak takut akan segala tantangan yang akan menghadang. Setelah kurenungkan kembali, ternyata apa yang kujalani selama MOSB menggambarkan apa yang akan kualami dalam hidupku di tempat ini.
Proses tiga bulan pertama terasa jelas menjadi beban sekaligus berkat tebesar yang kuterima. Saya jadi semakin menyadari pentingnya keluarga, teman-teman dan orang-orang terdekat yang selama ini mungkin kurang saya hargai keberadaannya. Mereka sungguh menjadi motivasi saya dan memang pada masa ini saya menyadari pentingnya peran mereka dalam hidupku. Namun, satu hal baru yang saya peroleh disini adalah kenyataan bahwa disini saya memiliki puluhan saudara, kakak baru, ya,….komunitasku dari satu angkatan KPP (12 orang ini) + kelas I, II dan III. Saat-saat kangen, rindu, sedih merupakan momen untuk saling menguatkan dan meneguhkan. Toh, akhinya momen ini jadi kenangan yang sangat berarti bagiku pribadi.
Momen tiga bulanan selesai bisa dibilang ini menjadi titik balik motivasiku yang dulu amat cetek, kini semakin dimurnikan. Ya, saya semakin memahami makna panggilan hidup yang sedang saya jalani ini. Saya melihat ada sesuatu yang unik dari pribadi seorang kaum religius yaitu ketenangan dan ketulusan hatinya memberi apa yang dia miliki, yaitu dirinya sendiri. Semangat ini yang memurnikan motivasi saya bahwa jadi imam bisa menjadi salah satu cara saya memberikan diri bagi kepentingan orang lain. Ingin rasanya melihat orang lain tersenyum dan tentunya saya merasakan suatu perasaan yang amat membahagiakan ketika saya mampu memberikan kebahagiaan juga kepada orang lain. Dari sini saya melihat bahwa sosok imam juga penting bagiku dan bagi orang-orang di sekitarku. Dari sinilah, jalanku mulai kelihatan.
Intinya selama dua setengah tahun aku menjalani segalanya, saya menemukan kebahagiaan tersendiri, mampu mengalami pengalaman-pengaaman unik, bertemu dengan berbagai macam orang, mampu merasakan saat-saat gembira dan saat-saat susah jauh dari keluarga dan banyak lagi. Semua itu menjadi goresan berarti dalam kehidupanku dan akan terus saya ukir untuk mencari jawaban yang paling bijaksana atas pertanyaanku selama ini, “kemana ku harus melangkah?” Bagaimana caranya saya akan berusha sebaik mungkin menjalani segalanya untuk memurnikan motivasiku hingga menemukan apa yang kucari sampai satu saat ku berkata: “Memang ini Jalanku…”
Minggu, 29 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar