Generasi Penerus Bangsa di Sanggar Rebung
Saat-saat yang Mendebarkan
Sebagai seorang seminaris yang menginjak tahun ketiga, kali ini aku mendapat kesempatan untuk live-in. Awalnya aku tidak tahu ke mana akan ditempatkan untuk menjalani live-in. Aku hanya bisa membayangkan bahwa nantinya aku akan ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Muara Karang, atau Cilincing. Namun, anggapanku semula salah karena ternyata kami akan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu Sanggar Akar, Sanggar Rebung, dan Panti Asuhan Desa Putera.
Hari Sabtu, 7 Februari 2009, kami baru diberi keputusan pembagian kelompok live-in. Pembagian kelompok ini dilakukan oleh Fr. Hepi, selaku koordinator live-in kami. Aku mendapat kelompok live in di Sanggar Rebung bersama dengan Bekti dan Hena. Sejujurnya, aku tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang live-in karena ini kali pertamanya aku bisa mempunyai kesempatan untuk live-in.
Mengenal Lebih Dekat Sanggar Rebung
Hari Senin, 9 Februari 2009, pagi hari kira-kira jam setengah sembilan, aku bersama kedua temanku berangkat menuju Sanggar Rebung. Perjalanan awal kami menuju ke Stasiun Pasar Minggu diliputi awan mendung yang menjadi pertanda bahwa hujan akan turun. Kendala pertama kami adalah mencari lokasi di mana Sanggar Rebung berada. Kami hanya bermodalkan acuan kendaraan umum dan patokan tempat di mana kami harus turun. Untungnya, perjalanan kami tidak terhambat oleh hujan yang mengguyur. Kira-kira jam setengah sebelas, kami tiba di Bale Baca Sanggar Rebung. Tidak begitu sulit mencari alamat Sanngar Rebung yang berada di Depok Baru ini. Kami hanya perlu mengeluarkan kocek tujuh ribu rupiah per orang untuk sekali perjalanan.
Sanggar Rebung ini berlokasi di pinggiran kota Depok, tepatnya di Jl. H. Kocen/Cikambangan no 49, RT 01, RW 02, Kampung Kebon Duren, Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Mengapa letaknya di pinggiran kota? Karena melihat keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung anak untuk keluar dari budaya kemiskinan, maka Sanggar ini didirikan pada bulan Januari 2002. Mas Budi Santoso Josep adalah salah seorang pendiri dan ia tinggal di Sanggar Rebung. Mas Budi ditemani oeh Mas Daru, seorang pemuda yang bersekolah di STM Grafika Mardi Yuana, Bogor. Mas Daru adalah salah seorang anak asuh yang sudah tinggal bersama Mas Budi semenjak duduk di bangku kelas 4 SD.
Hari pertama aku mencoba untuk mengenal lebih dekat lingkungan Sanggar Rebung. Lingkungan masyarakat di sekitar Sanggar Rebung mayoritas beragama Islam dan menganut garis keras. Sebagian besar masyarakatnya adalah pendukung Partai Keadilan Sejahtera. Karena mayoritas masyarakatnya menganut Islam garis keras, maka mereka sangat anti dengan orang Kristen dan omong kosong apabila kita berbicara mengenai Tuhan dengan mereka. Setelah aku mengetahui hal ini, hatiku mulai bergumul dan bertanya-tanya, “ Apakah aku bisa diterima masuk oleh masyarakat di sekitar sanggar ini?’ Muncul perasaan takut dan kecemasan dalam diriku untuk melalui proses ini. Aku hanya berpikir bahwa tidak ada hasil dan pengalaman yang dapat aku peroleh, tanpa melalui proses ini.
Siang hari setelah kami sejenak beristirahat, tiba-tiba seorang anak bernama Aldo datang ke sanggar. Aldo adalah seorang bocah yang duduk di bangku kelas 2 SD. Aku mencoba untuk mengajarinya membaca sebuah buku. Aldo memiliki ketertarikan untuk membaca buku, walaupun cara membacanya masih sedikit terbata-bata. Tak lama kemudian datang seorang gadis kecil bernama Iing yang duduk di bangku kelas 2 SD. Berbeda dengan Aldo, Iing tidak terlalu menyukai membaca buku, tetapi Iing lebih lancar membaca. Ayah dari Iing sehari-harinya bekerja sebagai supir angkutan umum D 10 dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Kedua orang tua Iing kurang menghiraukan perkembangan anaknya di sanggar. Mereka hanya memikirkan,” Yang penting anak gue belajar di sanggar dan sekolah.” Seorang bocah yang terlihat sedikit lebih tua dari Aldo dan Iing datang tak lama kemudian. Anak itu bernama Kiki dan duduk di bangku kelas 4 SD. Kiki adalah anak seorang supir. Kiki bisa dikategorikan sebagai bocah yang cukup pintar karena semua buku yang ada di sanggar telah dibaca olehnya. Hampir semua buku dihafal isinya, terutama buku tentang dinosaurus yang paling ia gemari. Latar belakang keluarganya sangat mencemaskan. Pernah suatu kali ayahnya ketahuan membawa perempuan lain dan hal ini tidak diketahui oleh istrinya. Bagi saya ini menjadi suatu tindakan yang memilukan dan anaknya perlu menjadi suatu perhatian. Adalagi seorang bocah laki-laki yang sangat menggemari musik. Ia bernama Chandra dan duduk di bangku kelas 2 SD.
Sepanjang hari ini aku mencoba mengenal mereka lebih dekat satu per satu . Tenyata mereka merasa nyaman bercanda dan belajar bersama kami. Kami menyempatkan untuk berkeliling bersama di sekitar lingkungan sanggar. Sanggar Rebung juga mempunyai lebih dari lima ekor kelinci, maka kami juga pergi ke kebun untuk mencari rumput.. Selesai mencari rumput, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk mandi dan sholat maghrib. Malam harinya mereka datang kembali untuk belajar dan bercanda gurau. Aku bisa melihat bahwa mereka merindukan kasih sayang dari canda tawa mereka.
Penjual Kembang Tempat Pemakaman Umum Kalimulya
Hari kedua aku bangun kira-kira jam enam pagi. Selesai mandi, aku diberi informasi oleh Mas Budi bahwa tetangga depan rumah ada yang baru saja meninggal karena dibunuh. Aku terkejut seketika karena kejadian ini bukanlah peristiwa yang lazim terjadi. Tak lama kemudian aku diajak Mas Budi ke rumah tetangga sebelah untuk membantu menjual kembang di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kalimulya I. Kami sarapan sebentar atau istilah masyarakat sana nyarap. Jam setengah Sembilan kami berangkat menuju ke TPU Kalimulya I. Aku tidak terlalu banyak bekerja karena TPU Kalimulya merupakan pemakaman yang sudah tua dan sudah penuh. Jadi, kalau ingin menguburkan orang yang sudah meninggal harus ditumpuk. Aku hanya membantu merapikan tempat dagangan bersama ibu penjual kembang itu .
Setelah itu, aku hanya duduk santai sambil mendengarkan obrolan guyonan para penggali kubur dan ibu-ibu penjual kembang. Paling hanya satu sampai dua keluarga yang berziarah ke Pemakaman Kalimulya. Banyak peziarah berkunjung saat bulan puasa atau lebaran. Untuk memperoleh 5000 rupiah, kami harus duduk sampai sore hari dan merasakan kebosanan karena lingkungan makam yang sangat sunyi. Demi memperoleh penghasilan yang belum pasti sehari-harinya. Seorang ibu harus menggantungkan rejekinya di Pemakaman Umum Kalimulya. Sungguh pengorbanan yang tidak bisa dibayar dengan uang sebesar 5000 rupiah.
Pandangan Hidup Tradisional
Jam setengah lima kami kembali ke sanggar. Kendatanganku disambut oleh anak-anak sanggar. Kali ini jumlah mereka bertambah banyak karena mereka mengajak teman-teman yang lain untuk bermain dan belajar. Di sanggar ini aku bisa berbagi cerita dan ilmu dengan mereka, mulai dari tebak-tebakkan sampai cerita lucu. Aku dan mereka belajar banyak hal. Mereka memperoleh ilmu dan kasih sayang dariku. Sedangkan aku memperoleh cara bagaimana aku bisa mengasihi dan berbagi dengan mereka. Mengasihi dan berbagi tidak selalu dengan pemberian barang. Tetapi alangkah baiknya dengan memberikan perhatian dan ilmu yang mungkin tidak akan pernah mereka lupakan. Mereka adalah anak-anak yang memerlukan perhatian dan kasih sayang lebih karena orang tua mereka kebanyakan masa bodoh atau cuek. Aku salut dengan mereka karena sekalipun mereka memiliki latar belakang keluarga yang notabene keadaan ekonominya rendah atau bermasalah, namun mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Misalnya saja, Kiki, ia sudah memiliki cita-cita menjadi seorang dokter hewan. Tetapi, “Apakah ia bisa mencapainya apabila ia tidak mempunyai biaya yang cukup untuk meneruskan pendidikannya?”. Aku prihatin ketika melihat perempuan seumuranku sudah menggendong anak. Sepertinya mereka memiliki pandangan bahwa umur 21 tahun harus sudah menikah. Padahal usia 21 tahun merupakan usia yang masih produktif untuk kuliah atau menuntut ilmu. Pendidikan bagi masyarakat di sana nomor dua, yang penting dan nomor satu adalah uang. Usia 21 tahun bagi laki-laki dianggap sudah bisa bekerja. Pekerjaan bagi mereka tidak memerlukan ijazah yang tinggi, yang penting adalah otot.
Sejenak aku berpikir kalau pandangan mereka seperti ini, barangkali mereka akan mudah ditipu hanya dengan jaminan pemberian uang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Contohnya saja, pada pra Pemilu berbagai macam partai mencoba untuk mencari massa. Maka partai yang ingin mencari banyak massa memberikan jaminan uang dengan persyaratan masyarakat harus mendukung dan memilih partai tersebut. Jelas, masyarakat Kalimulya sangat senang apabila mendapat jaminan akan diberikan uang. Jika hal ini terus berlanjut maka yang menjadi pertanyaan adalah kapan negara kita akan berkembang.
Berkah dan Musibah Sanggar Rebung
Kehadiran Sanggar Rebung di tengah-tengah masyarakat Kalimulya menimbulkan kontroversial. Sanggar Rebung berlabel agama katolik yang sudah pasti ditentang oleh masyarakat Kalimulya. Label ini yang menyebabkan masyarakat kurang menerima kehadiran Sanggar Rebung. Tetapi, di tengah kontroversial, Sanggar Rebung mencoba mengembangkan sayapnya di balik layar. Sanggar Rebung mencoba tetap berkarya dan bersikap netral, tanpa memihak pada siapapun. Sanggar Rebung memberikan santunan kepada anak-anak yang keadaan ekonominya memprihatinkan.
Segala sesuatu yang ingin diperjuangkan pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi itu menjadi tahap untuk mencapai tujuan akhir dari apa yang diperjuangkan. Konsekuensi itu tidak dapat dihindari. Namun, konsekuensi itu harus dihadapi dengan penuh pertanggungjawaban. Dampak baik dari kehadiran Sanggar Rebung di masyarakat Kalimulya belum bisa dirasakan sepenuhnya, karena masih ada oknum yang merasa tidak diuntungkan dan itulah yang menjadi cobaan bagi Mas Budi. Tapi Mas Budi tidak pernah mencoba untuk melawan, melainkan berpasrah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Sempat terlintas dalam benak Mas Budi untuk membubarkan Sanggar karena sudah merasa penat dengan penolakan. Tapi Tuhan tidak tinggal diam, IA berkarya melalui “malaikat tak bersayap” . Seorang Notaris P.PAT yang tentu tidak dikenal oleh Mas Budi langsung menawarkan Sanggar Rebung untuk dijadikan sebuah Yayasan. Mas Budi langsung menerima tawaran itu dan mengurungkan niatnya untuk menutup Sanggar Rebung. Tuhan tidak akan pernah tinggal diam ketika kita berniat untuk berbuat baik. Sekalipun Tuhan tidak langsung mewujudkan niat baik yang kita dambakan, aku menyadari karya Tuhan melalui perantaraan orang-orang yang ada di sekitar kita bahkan orang-orang yang tidak kita kenal.
Pengabdian Mas Budi di Sanggar Rebung jelas membawa sebuah berkah tersendiri. Sanggar Rebung kini sudah menjadi Yayasan Rebung Cendani dan terorganisir oleh orang-orang yang bersedia memberikan donasi atau terlibat di dalam Yayasan Rebung Cendani.
Sebungkus Nasi Goreng
Hari Ketiga aku melakukan rutinitas seperti hari kemarin. Aku bangun jam enam pagi, menyapu, mengepel, dan merapikan buku-buku di sanggar. Kemudian aku mandi dan langsung pergi nyarap. Pengalaman yang tidak aku duga terjadi ketika kami sedang sarapan di pinggir jalan. Seorang bapak menghentikan sepeda motornya dan ikut sarapan dengan kami. Ketika aku melihat raut wajahnya, aku merasa tidak asing dengan sosok bapak ini. Sang Bapak tiba-tiba menyapa kami dan kami membalas menyapanya. Ternyata sang bapak melihat baju temanku, Hena yang tertulis “Ignatius School Fair” dan ia bertanya kepada kami “ Adek, Katolik semua?”. Kami menjelaskan bahwa kami sedang live-in di Sanggar Rebung. Ketika aku ingin membayar, bapak tadi langsung mentraktir kami bertiga. Dalam hati aku bersyukur dan ternyata masih ada orang yang seperti bapak itu.
Malam harinya ketika hendak pergi untuk makan malam, aku teringat sejak kemarin bahwa Mas Budi harus menggunakan uang makannya untuk biaya sekolah Kiki dan Mas Daru. Dalam tiga hari, Mas Budi bisa tidak makan sama sekali dan hanya makan daun yang bisa dimakan di kebun belakang sanggar. Aku salut dengan pengorbanan yang diberikan Mas Budi untuk sanggar. Maka, aku berniat untuk membelikannya sebungkus nasi goreng untuk makan malam Mas Budi dan Mas Daru. Mereka begitu senang dan sangat bersyukur. Mas Daru mungkin hanya bisa makan indomie setiap harinya dan jarang sekali makan nasi. Demi membayar uang sekolah anak-anak asuhnya, Mas Budi harus merelakan tidak makan sesuap nasi dalam sehari. Sebungkus nasi goreng tidaklah terlalu berarti, tetapi ketulusan yang kami berikan menjadi lebih berarti.
Selamat Tinggal Sanggar Rebung
Setelah empat hari berada di sana sepertinya aku tidak ingin meninggalkan sanggar. Anak-anak sanggar juga tidak ingin aku pulang meninggalkan mereka. Kami menuliskan surat, tanda tangan, alamat, dan alamat e-mail sebagai tanda perpisahan kami. Mereka pun juga menuliskan surat yang mungkin bisa aku kenang. Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Karena perjalanan pulang yang harus aku tempuh cukup jauh maka kami merencanakan pulang jam setengah dua siang.
Anak-anak sanggar mengantarkan kami sampai ke jalan besar untuk menunggu angkot D10. Saat itu adalah jam pulang sekolah, sehingga banyak angkot yang sudah penuh dan kami harus menunggu lama. Mereka berjanji akan menunggu sampai kami sudah tidak terlihat lagi. Ketika ada satu angkot yang cukup lengang, kami langsung naik dan melambaikan tangan kepada mereka. Ada perasaan sedih tetapi bercampur dengan kebanggan karena bisa berbagi banyak hal dengan mereka. Seolah-olah aku ingin menangis dalam hati dan aku juga ingin menaruh harapan pada mereka, semoga kelak mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai setinggi-tingginya
Berikut ini adalah surat yang dituliskan oleh Kiki, Chandra, Iing, Aldo, Panca
Hai Kak, kakakku yang ganteng yang baik
Aku ingin mengucapkan selamat hari velatin
Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal
Aku akan mengingatmu selalu dan aku ingin selalu bersamamu
Kalau kakak ingin bertemu kami lagi datanglah ke sanggar rebung cendani..
Panca.W
I Love U Semua
Selamat
Hari Velantin
Chandra
Kiki. R
Saat-saat yang Mendebarkan
Sebagai seorang seminaris yang menginjak tahun ketiga, kali ini aku mendapat kesempatan untuk live-in. Awalnya aku tidak tahu ke mana akan ditempatkan untuk menjalani live-in. Aku hanya bisa membayangkan bahwa nantinya aku akan ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Muara Karang, atau Cilincing. Namun, anggapanku semula salah karena ternyata kami akan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu Sanggar Akar, Sanggar Rebung, dan Panti Asuhan Desa Putera.
Hari Sabtu, 7 Februari 2009, kami baru diberi keputusan pembagian kelompok live-in. Pembagian kelompok ini dilakukan oleh Fr. Hepi, selaku koordinator live-in kami. Aku mendapat kelompok live in di Sanggar Rebung bersama dengan Bekti dan Hena. Sejujurnya, aku tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang live-in karena ini kali pertamanya aku bisa mempunyai kesempatan untuk live-in.
Mengenal Lebih Dekat Sanggar Rebung
Hari Senin, 9 Februari 2009, pagi hari kira-kira jam setengah sembilan, aku bersama kedua temanku berangkat menuju Sanggar Rebung. Perjalanan awal kami menuju ke Stasiun Pasar Minggu diliputi awan mendung yang menjadi pertanda bahwa hujan akan turun. Kendala pertama kami adalah mencari lokasi di mana Sanggar Rebung berada. Kami hanya bermodalkan acuan kendaraan umum dan patokan tempat di mana kami harus turun. Untungnya, perjalanan kami tidak terhambat oleh hujan yang mengguyur. Kira-kira jam setengah sebelas, kami tiba di Bale Baca Sanggar Rebung. Tidak begitu sulit mencari alamat Sanngar Rebung yang berada di Depok Baru ini. Kami hanya perlu mengeluarkan kocek tujuh ribu rupiah per orang untuk sekali perjalanan.
Sanggar Rebung ini berlokasi di pinggiran kota Depok, tepatnya di Jl. H. Kocen/Cikambangan no 49, RT 01, RW 02, Kampung Kebon Duren, Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Mengapa letaknya di pinggiran kota? Karena melihat keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung anak untuk keluar dari budaya kemiskinan, maka Sanggar ini didirikan pada bulan Januari 2002. Mas Budi Santoso Josep adalah salah seorang pendiri dan ia tinggal di Sanggar Rebung. Mas Budi ditemani oeh Mas Daru, seorang pemuda yang bersekolah di STM Grafika Mardi Yuana, Bogor. Mas Daru adalah salah seorang anak asuh yang sudah tinggal bersama Mas Budi semenjak duduk di bangku kelas 4 SD.
Hari pertama aku mencoba untuk mengenal lebih dekat lingkungan Sanggar Rebung. Lingkungan masyarakat di sekitar Sanggar Rebung mayoritas beragama Islam dan menganut garis keras. Sebagian besar masyarakatnya adalah pendukung Partai Keadilan Sejahtera. Karena mayoritas masyarakatnya menganut Islam garis keras, maka mereka sangat anti dengan orang Kristen dan omong kosong apabila kita berbicara mengenai Tuhan dengan mereka. Setelah aku mengetahui hal ini, hatiku mulai bergumul dan bertanya-tanya, “ Apakah aku bisa diterima masuk oleh masyarakat di sekitar sanggar ini?’ Muncul perasaan takut dan kecemasan dalam diriku untuk melalui proses ini. Aku hanya berpikir bahwa tidak ada hasil dan pengalaman yang dapat aku peroleh, tanpa melalui proses ini.
Siang hari setelah kami sejenak beristirahat, tiba-tiba seorang anak bernama Aldo datang ke sanggar. Aldo adalah seorang bocah yang duduk di bangku kelas 2 SD. Aku mencoba untuk mengajarinya membaca sebuah buku. Aldo memiliki ketertarikan untuk membaca buku, walaupun cara membacanya masih sedikit terbata-bata. Tak lama kemudian datang seorang gadis kecil bernama Iing yang duduk di bangku kelas 2 SD. Berbeda dengan Aldo, Iing tidak terlalu menyukai membaca buku, tetapi Iing lebih lancar membaca. Ayah dari Iing sehari-harinya bekerja sebagai supir angkutan umum D 10 dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Kedua orang tua Iing kurang menghiraukan perkembangan anaknya di sanggar. Mereka hanya memikirkan,” Yang penting anak gue belajar di sanggar dan sekolah.” Seorang bocah yang terlihat sedikit lebih tua dari Aldo dan Iing datang tak lama kemudian. Anak itu bernama Kiki dan duduk di bangku kelas 4 SD. Kiki adalah anak seorang supir. Kiki bisa dikategorikan sebagai bocah yang cukup pintar karena semua buku yang ada di sanggar telah dibaca olehnya. Hampir semua buku dihafal isinya, terutama buku tentang dinosaurus yang paling ia gemari. Latar belakang keluarganya sangat mencemaskan. Pernah suatu kali ayahnya ketahuan membawa perempuan lain dan hal ini tidak diketahui oleh istrinya. Bagi saya ini menjadi suatu tindakan yang memilukan dan anaknya perlu menjadi suatu perhatian. Adalagi seorang bocah laki-laki yang sangat menggemari musik. Ia bernama Chandra dan duduk di bangku kelas 2 SD.
Sepanjang hari ini aku mencoba mengenal mereka lebih dekat satu per satu . Tenyata mereka merasa nyaman bercanda dan belajar bersama kami. Kami menyempatkan untuk berkeliling bersama di sekitar lingkungan sanggar. Sanggar Rebung juga mempunyai lebih dari lima ekor kelinci, maka kami juga pergi ke kebun untuk mencari rumput.. Selesai mencari rumput, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk mandi dan sholat maghrib. Malam harinya mereka datang kembali untuk belajar dan bercanda gurau. Aku bisa melihat bahwa mereka merindukan kasih sayang dari canda tawa mereka.
Penjual Kembang Tempat Pemakaman Umum Kalimulya
Hari kedua aku bangun kira-kira jam enam pagi. Selesai mandi, aku diberi informasi oleh Mas Budi bahwa tetangga depan rumah ada yang baru saja meninggal karena dibunuh. Aku terkejut seketika karena kejadian ini bukanlah peristiwa yang lazim terjadi. Tak lama kemudian aku diajak Mas Budi ke rumah tetangga sebelah untuk membantu menjual kembang di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kalimulya I. Kami sarapan sebentar atau istilah masyarakat sana nyarap. Jam setengah Sembilan kami berangkat menuju ke TPU Kalimulya I. Aku tidak terlalu banyak bekerja karena TPU Kalimulya merupakan pemakaman yang sudah tua dan sudah penuh. Jadi, kalau ingin menguburkan orang yang sudah meninggal harus ditumpuk. Aku hanya membantu merapikan tempat dagangan bersama ibu penjual kembang itu .
Setelah itu, aku hanya duduk santai sambil mendengarkan obrolan guyonan para penggali kubur dan ibu-ibu penjual kembang. Paling hanya satu sampai dua keluarga yang berziarah ke Pemakaman Kalimulya. Banyak peziarah berkunjung saat bulan puasa atau lebaran. Untuk memperoleh 5000 rupiah, kami harus duduk sampai sore hari dan merasakan kebosanan karena lingkungan makam yang sangat sunyi. Demi memperoleh penghasilan yang belum pasti sehari-harinya. Seorang ibu harus menggantungkan rejekinya di Pemakaman Umum Kalimulya. Sungguh pengorbanan yang tidak bisa dibayar dengan uang sebesar 5000 rupiah.
Pandangan Hidup Tradisional
Jam setengah lima kami kembali ke sanggar. Kendatanganku disambut oleh anak-anak sanggar. Kali ini jumlah mereka bertambah banyak karena mereka mengajak teman-teman yang lain untuk bermain dan belajar. Di sanggar ini aku bisa berbagi cerita dan ilmu dengan mereka, mulai dari tebak-tebakkan sampai cerita lucu. Aku dan mereka belajar banyak hal. Mereka memperoleh ilmu dan kasih sayang dariku. Sedangkan aku memperoleh cara bagaimana aku bisa mengasihi dan berbagi dengan mereka. Mengasihi dan berbagi tidak selalu dengan pemberian barang. Tetapi alangkah baiknya dengan memberikan perhatian dan ilmu yang mungkin tidak akan pernah mereka lupakan. Mereka adalah anak-anak yang memerlukan perhatian dan kasih sayang lebih karena orang tua mereka kebanyakan masa bodoh atau cuek. Aku salut dengan mereka karena sekalipun mereka memiliki latar belakang keluarga yang notabene keadaan ekonominya rendah atau bermasalah, namun mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Misalnya saja, Kiki, ia sudah memiliki cita-cita menjadi seorang dokter hewan. Tetapi, “Apakah ia bisa mencapainya apabila ia tidak mempunyai biaya yang cukup untuk meneruskan pendidikannya?”. Aku prihatin ketika melihat perempuan seumuranku sudah menggendong anak. Sepertinya mereka memiliki pandangan bahwa umur 21 tahun harus sudah menikah. Padahal usia 21 tahun merupakan usia yang masih produktif untuk kuliah atau menuntut ilmu. Pendidikan bagi masyarakat di sana nomor dua, yang penting dan nomor satu adalah uang. Usia 21 tahun bagi laki-laki dianggap sudah bisa bekerja. Pekerjaan bagi mereka tidak memerlukan ijazah yang tinggi, yang penting adalah otot.
Sejenak aku berpikir kalau pandangan mereka seperti ini, barangkali mereka akan mudah ditipu hanya dengan jaminan pemberian uang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Contohnya saja, pada pra Pemilu berbagai macam partai mencoba untuk mencari massa. Maka partai yang ingin mencari banyak massa memberikan jaminan uang dengan persyaratan masyarakat harus mendukung dan memilih partai tersebut. Jelas, masyarakat Kalimulya sangat senang apabila mendapat jaminan akan diberikan uang. Jika hal ini terus berlanjut maka yang menjadi pertanyaan adalah kapan negara kita akan berkembang.
Berkah dan Musibah Sanggar Rebung
Kehadiran Sanggar Rebung di tengah-tengah masyarakat Kalimulya menimbulkan kontroversial. Sanggar Rebung berlabel agama katolik yang sudah pasti ditentang oleh masyarakat Kalimulya. Label ini yang menyebabkan masyarakat kurang menerima kehadiran Sanggar Rebung. Tetapi, di tengah kontroversial, Sanggar Rebung mencoba mengembangkan sayapnya di balik layar. Sanggar Rebung mencoba tetap berkarya dan bersikap netral, tanpa memihak pada siapapun. Sanggar Rebung memberikan santunan kepada anak-anak yang keadaan ekonominya memprihatinkan.
Segala sesuatu yang ingin diperjuangkan pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi itu menjadi tahap untuk mencapai tujuan akhir dari apa yang diperjuangkan. Konsekuensi itu tidak dapat dihindari. Namun, konsekuensi itu harus dihadapi dengan penuh pertanggungjawaban. Dampak baik dari kehadiran Sanggar Rebung di masyarakat Kalimulya belum bisa dirasakan sepenuhnya, karena masih ada oknum yang merasa tidak diuntungkan dan itulah yang menjadi cobaan bagi Mas Budi. Tapi Mas Budi tidak pernah mencoba untuk melawan, melainkan berpasrah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Sempat terlintas dalam benak Mas Budi untuk membubarkan Sanggar karena sudah merasa penat dengan penolakan. Tapi Tuhan tidak tinggal diam, IA berkarya melalui “malaikat tak bersayap” . Seorang Notaris P.PAT yang tentu tidak dikenal oleh Mas Budi langsung menawarkan Sanggar Rebung untuk dijadikan sebuah Yayasan. Mas Budi langsung menerima tawaran itu dan mengurungkan niatnya untuk menutup Sanggar Rebung. Tuhan tidak akan pernah tinggal diam ketika kita berniat untuk berbuat baik. Sekalipun Tuhan tidak langsung mewujudkan niat baik yang kita dambakan, aku menyadari karya Tuhan melalui perantaraan orang-orang yang ada di sekitar kita bahkan orang-orang yang tidak kita kenal.
Pengabdian Mas Budi di Sanggar Rebung jelas membawa sebuah berkah tersendiri. Sanggar Rebung kini sudah menjadi Yayasan Rebung Cendani dan terorganisir oleh orang-orang yang bersedia memberikan donasi atau terlibat di dalam Yayasan Rebung Cendani.
Sebungkus Nasi Goreng
Hari Ketiga aku melakukan rutinitas seperti hari kemarin. Aku bangun jam enam pagi, menyapu, mengepel, dan merapikan buku-buku di sanggar. Kemudian aku mandi dan langsung pergi nyarap. Pengalaman yang tidak aku duga terjadi ketika kami sedang sarapan di pinggir jalan. Seorang bapak menghentikan sepeda motornya dan ikut sarapan dengan kami. Ketika aku melihat raut wajahnya, aku merasa tidak asing dengan sosok bapak ini. Sang Bapak tiba-tiba menyapa kami dan kami membalas menyapanya. Ternyata sang bapak melihat baju temanku, Hena yang tertulis “Ignatius School Fair” dan ia bertanya kepada kami “ Adek, Katolik semua?”. Kami menjelaskan bahwa kami sedang live-in di Sanggar Rebung. Ketika aku ingin membayar, bapak tadi langsung mentraktir kami bertiga. Dalam hati aku bersyukur dan ternyata masih ada orang yang seperti bapak itu.
Malam harinya ketika hendak pergi untuk makan malam, aku teringat sejak kemarin bahwa Mas Budi harus menggunakan uang makannya untuk biaya sekolah Kiki dan Mas Daru. Dalam tiga hari, Mas Budi bisa tidak makan sama sekali dan hanya makan daun yang bisa dimakan di kebun belakang sanggar. Aku salut dengan pengorbanan yang diberikan Mas Budi untuk sanggar. Maka, aku berniat untuk membelikannya sebungkus nasi goreng untuk makan malam Mas Budi dan Mas Daru. Mereka begitu senang dan sangat bersyukur. Mas Daru mungkin hanya bisa makan indomie setiap harinya dan jarang sekali makan nasi. Demi membayar uang sekolah anak-anak asuhnya, Mas Budi harus merelakan tidak makan sesuap nasi dalam sehari. Sebungkus nasi goreng tidaklah terlalu berarti, tetapi ketulusan yang kami berikan menjadi lebih berarti.
Selamat Tinggal Sanggar Rebung
Setelah empat hari berada di sana sepertinya aku tidak ingin meninggalkan sanggar. Anak-anak sanggar juga tidak ingin aku pulang meninggalkan mereka. Kami menuliskan surat, tanda tangan, alamat, dan alamat e-mail sebagai tanda perpisahan kami. Mereka pun juga menuliskan surat yang mungkin bisa aku kenang. Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Karena perjalanan pulang yang harus aku tempuh cukup jauh maka kami merencanakan pulang jam setengah dua siang.
Anak-anak sanggar mengantarkan kami sampai ke jalan besar untuk menunggu angkot D10. Saat itu adalah jam pulang sekolah, sehingga banyak angkot yang sudah penuh dan kami harus menunggu lama. Mereka berjanji akan menunggu sampai kami sudah tidak terlihat lagi. Ketika ada satu angkot yang cukup lengang, kami langsung naik dan melambaikan tangan kepada mereka. Ada perasaan sedih tetapi bercampur dengan kebanggan karena bisa berbagi banyak hal dengan mereka. Seolah-olah aku ingin menangis dalam hati dan aku juga ingin menaruh harapan pada mereka, semoga kelak mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai setinggi-tingginya
Berikut ini adalah surat yang dituliskan oleh Kiki, Chandra, Iing, Aldo, Panca
Hai Kak, kakakku yang ganteng yang baik
Aku ingin mengucapkan selamat hari velatin
Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal
Aku akan mengingatmu selalu dan aku ingin selalu bersamamu
Kalau kakak ingin bertemu kami lagi datanglah ke sanggar rebung cendani..
Panca.W
I Love U Semua
Selamat
Hari Velantin
Chandra
Kiki. R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar