Minggu, 29 Maret 2009

Refleksi Panggila

Refleksi Panggilan

Nama: Carolus Astabrata
Kelas: II
Alamat: Jl. Mesjid Al Ridwan no 65, Pasar Minggu, Jakarta Selatan


Saya Carolus Astabrata, seminaris Wacana Bhakti kelas dua, angkatan 20. Saya sudah beberapa tahun terakhir ini menjalani formatio dengan segala suka-duka di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Semua ini berawal dari cerita masa kecil saya. Saya ingat ketika saya masih kelas 1 SD, saya melihat sosok seorang imam, dengan segala kharisma dan jubah yang putih berkilau-kilauan, memimpin misa dengan sangat khusyuk. Saya ingat kalau waktu itu saya bertanya pada orang tua saya, siapa sesungguhnya mereka itu. Orang tua saya mengatakan kalau ia adalah seorang imam yang bertugas untuk memimpin misa dan ia dekat dengan Tuhan. Saya semakin tertarik dan saya katakan waktu itu,”Kalau begitu saya akan jadi Pastor saja.” Ibu saya hanya tertawa dan lalu berkata,”Nanti kamu tidak bisa menikah.” “Ya sudah , apa pengaruhnya?”, tukas saya.
Kata-kata yang saya ucapkan sekenanya itu ternyata tertanam dengan baik dalam pikiran saya selama beberapa tahun ke depan. Saya semakin mersa bahwa ini bukan lagi guyonan masa kecil, melainkan panggilan dari Tuhan. Semua ini bukan hanya saya yang merasakannya. Kakak dan adik saya pun demikian. Ini tidak lepas dari peran serta dan dukungan orangtua. Saya selalu terkenang bagaimana dahulu kami sekelyuarga selau berdoa rosario setiap malam. Bahkan, hingga kini pun ayah saya berdoa rosario enam kali sehari untuk masing-masing anaknya. Hal ini ia lakukan ketika kakak saya masuk ke seminari Wacana Bhakti. Ini sesuatu yang tidak akan dianggap berguna oleh kebanyakan orang. Tapi saya sungguh merasakan sampai hari ini saya selalu bertahan dari segala percobaan di seminari. Kini pun saya sudah bertiga berada di seminari dengan kakak dan adik saya.
Kami hidup di sini bukannya tanpa gangguan. Dahulu, ketika saya pertama kali masuk, ada seorang frater yang benci kepada saya. Bah, setelah ditelusuri, ternyata ia menyimpan suatu kekesalan terhadap Anes, kakak saya. Semenjak itu saya semakin merasakan ketidak-sukaan itu bertambah. Puncaknya, saya dipermalukan akan kekurangan saya (dalam hal ini tidur waktu misa) di hadapan semua teman, lalu membandingkannya dengan Anes. Saya yang merasa tidak nyaman mulai mengetuk-ngetuk jari ke meja dan melihat jam. Karena hal itu saya diusir dari kelas. Saya yang berusaha berdamai tidak mendapatkan tindakan seorang gentleman dan ia tidak sudi menerima permintaan maaf saya walau saya sebenarnya tidak tahu di mana salah saya.
Saya marah. Ini kemarahan saya yang terbesar dan tidak kunjung padam sampai hari ini. Saya laporkan pembodohan itu pada rektor. Ya, itu pembodohan! Lantas sang frater pun dipanggil tapi tetap saja saya tidak merasakan ia mau berdamai. Tidak apa-apa. Itu memberi saya alasan untuk membencinya terus menerus. Maka sejak saat itu saya kehilangan hormat pada semua formator.
Lanjut ke kelas 1, saya mengalami pergolakan batin. Entah itu hidup studi atau rohani. Tapi untungnya ayah saya selalu dapat memadamkan siksa batin yang mendesak saya meninggalkan tempat ini. Kata-katanya jauh lebih bertuah dari pembimbing rohani manapun. Terus terang kelas 1 ini saya kehilangan fungsi dari pembimbing rohani. Saya tidak dapat menangkap dengan baik apa yang ia bicarakan. Saya malah jadi pihak yang mendengarkan. Saya rasa saya kurang cocok dengannya. Tapi yang jelas, segala badai rintangan kelas 1 itupun terlewati juga.
Kelas 2, kendala utamanya adalah studi, saya butuh neuron otak yang lebih cepat untuk menerima pelajaran di jurusan IPA. Saya harus berusaha keras kali ini. Kali inipun saya juga mengalami guncangan. Anehnya datangnya dari pembimbing rohani sendiri. Dalam suatu kesempatan, kami membahas pergaulan saya. Ia bilang saya ini terlalu tertutup. Saya sendiri tidak terganggu, lagipula saya hanya sulit terbuka dengan SMA Gonzaga. Ia malahan berkata kalau saya wajib lebih terbuka dengan mereka. Ini tertulis di buku pedoman. Kalau tidak bisa ya keluar saja. Wow, kata-kata yang sangat hebat! Keluar itu segampang itu ya? Tidak terima, saya terus menandingi argumennya sampai waktu kami habis. Sekarang kami tiga bersaudara di sini. Ternyata para formator seolah memandang kami hanya ingin sekolah gratis! Soal ini akan saya ceritakan lebih lanjut kalau kita bertemu nanti. Tetapi Romo, untuk sekarang hanya ini yang dapat saya sampaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar