SEBAB MASA DEPAN BUKANLAH HADIAH
Suasana Baru Suasana Sanggar Rebung
Sungguh di luar dugaan bahwa saya harus live – in di Sanggar Rebung. Sanggar Rebung merupakan tempat baru yang didatangi untuk acara live – in seminari Wacana Bhakti. Sebelum – sebelumnya belum pernah ada seminaris yang kesana. Saya pribadi agak kaget saat mendengar kata Sanggar Rebung. Saya akan sedikit menggambarkan suasana Sanggar Rebung. Sanggar Rebung adalah sebuah yayasan yang dirintis oleh mas Budi bersama Romo Wisnumurti SJ. Sanggar Rebung sendiri berada si wilayah Depok. Kalau dihitung dengan waktu, ya sekitar dua jam untuk sampai disana kalau berangkat dari seminari.
Perjalanan yang cukup menyenangkan saat saya menuju ke Sanggar Rebung. Dalam pikiran saya, saya belum memiliki gambaran sama sekali dengan suasana dan kondisi Sanggar Rebung sendiri. Tidak ada suatu pengalaman pun yang saya dengar sebelumnya. Sehingga saya ibaratnya buta dengan keadaan Sanggar Rebung sendiri.
Tetapi setelah saya sampai disana, suasana yang terbayang dalam pikiran saya selama perjalanan berubah seratus delapan puluh derajat. Suasana yang cukup menyegarkan menyambut kedatangan kami bertiga (saya, Hena, dan Vano). Suasana seperti di pedesaan yang kami alami. Saya pribadi merasa senang karena saya bisa live – in sekaligus berlibur menikmati indahnya alam pedesaan. Udara yang masih segar dan sungai Ciliwung yang mengalir deras menjadi subyek yang menyegarkan pikiran dan kepenatan saya selama ini.
Di sekitar Sanggar Rebung masyarakat masih menganganut sistem masyarakat tradisional. Masyarakat yang masih belum maju dalam segala aspek. Masyarakat yang hanya hidup oleh dorongan biologis atau dengan kata lain hanya memikirkan masalah perut. Mereka tidak memikirkan aspek – aspek kehidupan yang lainnya. Misalnya pendidikan, pekerjaan, ataupun kehidupan sosial lainnya. Masyarakat disana bahkan menjadi basis dari FBI dan FBR yang menganut aliran Islam garis keras.
Saat saya berada disana, rumah yang persisi berada di depan Sanggar Rebung berduka, pasalnya keluargannya menjadi korban pembunuhan di daerah Bekasi. Ya, apalagi kalau bukan masalah perut yang menjadi pemicunya. Saya menjadi ngeri sendiri juga. Tetapi hal ini menjadi pengalaman yang menarik untuk saya pribadi.
Kelebihan masyarakat di sana adalah hubungan antara anggota keluarga ataupun antar sesama warga yang sangat kuat. Mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya. Ini yang menjadi keunggulan dari desa Kebon Duren ini. Ini terlihat dari kasus pembunuhan yang terjadi disana. Semua warga berbondong – bondong datang untuk membantu segala sesuatu yang diperlukan.
Mungkin inilah gambaran mengenai situasi dan kondisi dari Sanggar Rebung sendiri, sanggar yang berada di tengah pedesaan ini. Sanggar yang menyediakan tempat sebagai taman bacaan, tempat belajar kelompok, tempat mengeksplor diri, tempat memerdekakan diri bagi anak – anak ditengah desa Kebon Duren, Depok, yang secara kebutuhan jasmani dan rohani belum tercukupi dengan baik.
Kisah nyata dari roman laskar pelangi
Setelah dua hari saya berada di Sanggar Rebung, saya merasakan seperti film laskar pelangi. Film yang memotivasi saya untuk terus mempunyai cita – cita. Salah satu yang menjadi film favorit saya. Saya tidak menyangka bahwa saya akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dikisahkan dalam film Laskar Pelangi.
Anak yang pertama saya kenal disana bernama Aldo, anak yang pertama kali datang ke Sanggar. Seorang anak yang baru berusia delapan tahun dan sekarang duduk di kelas dua sekolah dasar. Aldo merupakan seorang anak dari seorang preman di dareah Kebon Duren, kampung dimana Sanggar Rebung berada. Aldo bisa dibilang anak yang kurang beruntung. Kata fasilitas, kenyamanan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian sangat jauh dari diri Aldo. Padahal anak seusia Aldo seharusnya mendapatkan semua aspek tersebut secara terpenuhi. Barbeda sekali dengan kehidupan anak perkotaan zaman sekarang. Dari kecil mereka ditanamkan untuk bersikap individualistis.
Walaupun Aldo sangat kekurangan alam hal jasmani maupun rohani, tetapi Aldo memiliki sikap yang sungguh diluar dugaan saya. Aldo membuka pendangan saya tentang palayanan kepada orang lain. Aldo menjadi salah satu pengajar di Sanggar Rebung. Walaupun Aldo hanya mengajar membaca untuk anak TK, tetapi ia dengan tulus mengajarkan kemampuannya kepada adik – adiknya di Sanggar. Sepertinya Aldo dianggap menjadi pemimpin atau ketua kelas di Sanggar oleh teman – temannya karena pelayanan yang ia berikan.
Sikap Aldo inilah yang membuka pandangan saya. bahwa suatu pelayanan dapat diberikan dari kekurangan yang kita punya. Tuhan sendiri berkata lebih baik memberi dari kekurangan dari pada memberi dari kelebihan. Sekarang apakah saya mampu memberikan sesuatu pelayanan dari kekurangan saya? Apakah saya mau memberikan kepada orang lain tanpa ingin menyombongkan diri?
Kisahnya tidak berhenti pada pribadi Aldo, pribadi yang sungguh luar biasa juga saya temukan dalam diri anak bernama Kiki. Kiki adalah salah satu anak yang tinggal di sekitar Sanggar. Kiki merupakan korban broken home. Sama seperti Aldo, kata fasilitas, kenyamanan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian sangat jauh juga dari diri Kiki. Tetapi Kiki juga mengubah pandangan saya seratus delapan puluh derajat tentang arti kata mimpi.
Kiki baru duduk di kelas empat sekalah dasar, tatapi ketertarikannya pada dunia binatang atau hewan sangatlah mengesankan. Kiki sangat tertarik dengan dunia dinosaurus. Semua buku – buku disanggar sudah ia baca seluruhnya, apalagi yang berhubungan dengan dunia dinosaurus. Ketika bermain tebak – tebakan dengannya pun selalu berhubungan dengan dunia dinosaurus.
Saya termasuk salah satu yang sangat dekat dengan pribadi Kiki. Saya pun yang mengajari dia bahasa Inggris, mengajari dia tentang dunia hewan, dan mengajari dia tentang bagaimana kehidupan lain diluar kehidupannya. Selama 4 hari itulah kami ditemani oleh Kiki. Kiki istilahnya menjadi pemandu kami.
Saat saya iseng – iseng menanyakan cita – cita Kiki, saya sungguh kaget bercampur bangga. Kiki ternyata mempunyai cita – cita menjadi dokter hewan atau menjadi arkeolog. Sungguh tinggi cita – cita yang ingin dia raih. Walaupun dari segala kekurangannya, Kiki belajar dengan kansisten dan dengan komitmen yang teguh untuk mencapai cita – citanya tersebut. dengan membaca buku dan melihat informasi dari internet. Karena ia sendiri menyadari bahwa keluaranya tidak sepenuhnya mendukung. Tetapi perjuanggan dan keberaniannya itulah yang menjadi motivasi untuk saya.
Pribadi Kiki tersebut menjadi salah satu motivasi saya dalam meraih cita – cita sebagai seorang imam. Konsisten dan komitmen adalah kunci dari segala usaha yang kita perjuangkan. Tetapi tetap saja segala kehendak ada di tangan Tuhan sendiri. Karena Tuhanlah yang bekerja dalam diriku.
Kesunyian yang Abadi
Dalam kasempatan live – in kemarin saya juga sempat berada di makam selama dua hari. Saya membantu ibu – ibu yang berjualan kembang di TPU Kalimulya I. Saat pertama saya kesana, saya cukup takut dengan suasana makam yang begitu sunyi. Bahkan saya tidak berani untuk jalan sendiri. tetapi saya menemukan sesuatu yang sungguh luar biasa.
Pengalaman melihat dua kali penguburan menjadikan diri saya sepertinya terbiasa dengan pemandangan pengangkatan jenazah. Bahkan saya sempat masuk dalam salah satu acara di TPI. Karena disana sedang ada shooting program TPI. Makam yang begitu sunyi membuat saya menjadi semakin terlelap dalan suasana yang nyaman. Disana saya mendengarkan percakapan – percakapan dari penggali kubur dan ibu – ibu penjual kembang. Kegiatan ini saya lakukan dari pagi hari sampai dengan sore hari.
Kesunyian yang benar – benar saya rasakan membuat diri saya menjadi lebih tenang. Suansana yang sungguh cocok untuk berrefleksi tentang diri. Saya mencoba mengenal pribadi saya sendiri. Ternyata saya dapat lebih dekat dengan Tuhan dikala saya depat mengenal diri saya sendiri, dimana saya menyadari situasi dan posisi batin saya, sehingga pada akhirnya dapat bersatu dan berjalan bersama Tuhan dalam panggilan ini.
Baju Membawa Keberuntungan
Hari terakhir di Sanggar, saya bertiga pergi ke depan untuk mencari sarapan. Saat kami tengah sarapan tiba – tiba datang seorang bapak – bapak yang juga sedang mencari sarapan. Dari gerak geriknya saya membatin sesuatu, sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Tetapi saya tidak menyadarinya. Kami tengah makan, kemudian bapak itu juga mulai memakan nasi uduknya. Tidak tau kenapa dia menawarkan makan pada kami bertiga. Sambil makan dia bertanya, kalian dari Ignatius mana? Ia melihat tulisan Ignatius di baju Hena. Saya otomatis langsung tahu kalau bapak ini seorang katolik. Kami bilang saja kami sedang live – in. Lalu ngobrol tentang paroki – paroki di keuskupan Bogor. Obrolan kami tidak begitu lama, dan akhirnya kami dibayari untuk sarapan pagi itu.
Saya melihat sesuatu pengalaman yang sungguh luar biasa. Menurut saya memang penampilan seorang katolik dapat dengan mudah untuk ditebak. Mungkin ini menjadi ciri khas yang menentukan identitas seorang katolik. Mungkin cinta kasih tuhan memang sungguh nyata dalam diri seseorang katolik yang sejati.
Andreas Subekti
Seminari Menengah Wacana Bhakti
Suasana Baru Suasana Sanggar Rebung
Sungguh di luar dugaan bahwa saya harus live – in di Sanggar Rebung. Sanggar Rebung merupakan tempat baru yang didatangi untuk acara live – in seminari Wacana Bhakti. Sebelum – sebelumnya belum pernah ada seminaris yang kesana. Saya pribadi agak kaget saat mendengar kata Sanggar Rebung. Saya akan sedikit menggambarkan suasana Sanggar Rebung. Sanggar Rebung adalah sebuah yayasan yang dirintis oleh mas Budi bersama Romo Wisnumurti SJ. Sanggar Rebung sendiri berada si wilayah Depok. Kalau dihitung dengan waktu, ya sekitar dua jam untuk sampai disana kalau berangkat dari seminari.
Perjalanan yang cukup menyenangkan saat saya menuju ke Sanggar Rebung. Dalam pikiran saya, saya belum memiliki gambaran sama sekali dengan suasana dan kondisi Sanggar Rebung sendiri. Tidak ada suatu pengalaman pun yang saya dengar sebelumnya. Sehingga saya ibaratnya buta dengan keadaan Sanggar Rebung sendiri.
Tetapi setelah saya sampai disana, suasana yang terbayang dalam pikiran saya selama perjalanan berubah seratus delapan puluh derajat. Suasana yang cukup menyegarkan menyambut kedatangan kami bertiga (saya, Hena, dan Vano). Suasana seperti di pedesaan yang kami alami. Saya pribadi merasa senang karena saya bisa live – in sekaligus berlibur menikmati indahnya alam pedesaan. Udara yang masih segar dan sungai Ciliwung yang mengalir deras menjadi subyek yang menyegarkan pikiran dan kepenatan saya selama ini.
Di sekitar Sanggar Rebung masyarakat masih menganganut sistem masyarakat tradisional. Masyarakat yang masih belum maju dalam segala aspek. Masyarakat yang hanya hidup oleh dorongan biologis atau dengan kata lain hanya memikirkan masalah perut. Mereka tidak memikirkan aspek – aspek kehidupan yang lainnya. Misalnya pendidikan, pekerjaan, ataupun kehidupan sosial lainnya. Masyarakat disana bahkan menjadi basis dari FBI dan FBR yang menganut aliran Islam garis keras.
Saat saya berada disana, rumah yang persisi berada di depan Sanggar Rebung berduka, pasalnya keluargannya menjadi korban pembunuhan di daerah Bekasi. Ya, apalagi kalau bukan masalah perut yang menjadi pemicunya. Saya menjadi ngeri sendiri juga. Tetapi hal ini menjadi pengalaman yang menarik untuk saya pribadi.
Kelebihan masyarakat di sana adalah hubungan antara anggota keluarga ataupun antar sesama warga yang sangat kuat. Mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya. Ini yang menjadi keunggulan dari desa Kebon Duren ini. Ini terlihat dari kasus pembunuhan yang terjadi disana. Semua warga berbondong – bondong datang untuk membantu segala sesuatu yang diperlukan.
Mungkin inilah gambaran mengenai situasi dan kondisi dari Sanggar Rebung sendiri, sanggar yang berada di tengah pedesaan ini. Sanggar yang menyediakan tempat sebagai taman bacaan, tempat belajar kelompok, tempat mengeksplor diri, tempat memerdekakan diri bagi anak – anak ditengah desa Kebon Duren, Depok, yang secara kebutuhan jasmani dan rohani belum tercukupi dengan baik.
Kisah nyata dari roman laskar pelangi
Setelah dua hari saya berada di Sanggar Rebung, saya merasakan seperti film laskar pelangi. Film yang memotivasi saya untuk terus mempunyai cita – cita. Salah satu yang menjadi film favorit saya. Saya tidak menyangka bahwa saya akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dikisahkan dalam film Laskar Pelangi.
Anak yang pertama saya kenal disana bernama Aldo, anak yang pertama kali datang ke Sanggar. Seorang anak yang baru berusia delapan tahun dan sekarang duduk di kelas dua sekolah dasar. Aldo merupakan seorang anak dari seorang preman di dareah Kebon Duren, kampung dimana Sanggar Rebung berada. Aldo bisa dibilang anak yang kurang beruntung. Kata fasilitas, kenyamanan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian sangat jauh dari diri Aldo. Padahal anak seusia Aldo seharusnya mendapatkan semua aspek tersebut secara terpenuhi. Barbeda sekali dengan kehidupan anak perkotaan zaman sekarang. Dari kecil mereka ditanamkan untuk bersikap individualistis.
Walaupun Aldo sangat kekurangan alam hal jasmani maupun rohani, tetapi Aldo memiliki sikap yang sungguh diluar dugaan saya. Aldo membuka pendangan saya tentang palayanan kepada orang lain. Aldo menjadi salah satu pengajar di Sanggar Rebung. Walaupun Aldo hanya mengajar membaca untuk anak TK, tetapi ia dengan tulus mengajarkan kemampuannya kepada adik – adiknya di Sanggar. Sepertinya Aldo dianggap menjadi pemimpin atau ketua kelas di Sanggar oleh teman – temannya karena pelayanan yang ia berikan.
Sikap Aldo inilah yang membuka pandangan saya. bahwa suatu pelayanan dapat diberikan dari kekurangan yang kita punya. Tuhan sendiri berkata lebih baik memberi dari kekurangan dari pada memberi dari kelebihan. Sekarang apakah saya mampu memberikan sesuatu pelayanan dari kekurangan saya? Apakah saya mau memberikan kepada orang lain tanpa ingin menyombongkan diri?
Kisahnya tidak berhenti pada pribadi Aldo, pribadi yang sungguh luar biasa juga saya temukan dalam diri anak bernama Kiki. Kiki adalah salah satu anak yang tinggal di sekitar Sanggar. Kiki merupakan korban broken home. Sama seperti Aldo, kata fasilitas, kenyamanan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian sangat jauh juga dari diri Kiki. Tetapi Kiki juga mengubah pandangan saya seratus delapan puluh derajat tentang arti kata mimpi.
Kiki baru duduk di kelas empat sekalah dasar, tatapi ketertarikannya pada dunia binatang atau hewan sangatlah mengesankan. Kiki sangat tertarik dengan dunia dinosaurus. Semua buku – buku disanggar sudah ia baca seluruhnya, apalagi yang berhubungan dengan dunia dinosaurus. Ketika bermain tebak – tebakan dengannya pun selalu berhubungan dengan dunia dinosaurus.
Saya termasuk salah satu yang sangat dekat dengan pribadi Kiki. Saya pun yang mengajari dia bahasa Inggris, mengajari dia tentang dunia hewan, dan mengajari dia tentang bagaimana kehidupan lain diluar kehidupannya. Selama 4 hari itulah kami ditemani oleh Kiki. Kiki istilahnya menjadi pemandu kami.
Saat saya iseng – iseng menanyakan cita – cita Kiki, saya sungguh kaget bercampur bangga. Kiki ternyata mempunyai cita – cita menjadi dokter hewan atau menjadi arkeolog. Sungguh tinggi cita – cita yang ingin dia raih. Walaupun dari segala kekurangannya, Kiki belajar dengan kansisten dan dengan komitmen yang teguh untuk mencapai cita – citanya tersebut. dengan membaca buku dan melihat informasi dari internet. Karena ia sendiri menyadari bahwa keluaranya tidak sepenuhnya mendukung. Tetapi perjuanggan dan keberaniannya itulah yang menjadi motivasi untuk saya.
Pribadi Kiki tersebut menjadi salah satu motivasi saya dalam meraih cita – cita sebagai seorang imam. Konsisten dan komitmen adalah kunci dari segala usaha yang kita perjuangkan. Tetapi tetap saja segala kehendak ada di tangan Tuhan sendiri. Karena Tuhanlah yang bekerja dalam diriku.
Kesunyian yang Abadi
Dalam kasempatan live – in kemarin saya juga sempat berada di makam selama dua hari. Saya membantu ibu – ibu yang berjualan kembang di TPU Kalimulya I. Saat pertama saya kesana, saya cukup takut dengan suasana makam yang begitu sunyi. Bahkan saya tidak berani untuk jalan sendiri. tetapi saya menemukan sesuatu yang sungguh luar biasa.
Pengalaman melihat dua kali penguburan menjadikan diri saya sepertinya terbiasa dengan pemandangan pengangkatan jenazah. Bahkan saya sempat masuk dalam salah satu acara di TPI. Karena disana sedang ada shooting program TPI. Makam yang begitu sunyi membuat saya menjadi semakin terlelap dalan suasana yang nyaman. Disana saya mendengarkan percakapan – percakapan dari penggali kubur dan ibu – ibu penjual kembang. Kegiatan ini saya lakukan dari pagi hari sampai dengan sore hari.
Kesunyian yang benar – benar saya rasakan membuat diri saya menjadi lebih tenang. Suansana yang sungguh cocok untuk berrefleksi tentang diri. Saya mencoba mengenal pribadi saya sendiri. Ternyata saya dapat lebih dekat dengan Tuhan dikala saya depat mengenal diri saya sendiri, dimana saya menyadari situasi dan posisi batin saya, sehingga pada akhirnya dapat bersatu dan berjalan bersama Tuhan dalam panggilan ini.
Baju Membawa Keberuntungan
Hari terakhir di Sanggar, saya bertiga pergi ke depan untuk mencari sarapan. Saat kami tengah sarapan tiba – tiba datang seorang bapak – bapak yang juga sedang mencari sarapan. Dari gerak geriknya saya membatin sesuatu, sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Tetapi saya tidak menyadarinya. Kami tengah makan, kemudian bapak itu juga mulai memakan nasi uduknya. Tidak tau kenapa dia menawarkan makan pada kami bertiga. Sambil makan dia bertanya, kalian dari Ignatius mana? Ia melihat tulisan Ignatius di baju Hena. Saya otomatis langsung tahu kalau bapak ini seorang katolik. Kami bilang saja kami sedang live – in. Lalu ngobrol tentang paroki – paroki di keuskupan Bogor. Obrolan kami tidak begitu lama, dan akhirnya kami dibayari untuk sarapan pagi itu.
Saya melihat sesuatu pengalaman yang sungguh luar biasa. Menurut saya memang penampilan seorang katolik dapat dengan mudah untuk ditebak. Mungkin ini menjadi ciri khas yang menentukan identitas seorang katolik. Mungkin cinta kasih tuhan memang sungguh nyata dalam diri seseorang katolik yang sejati.
Andreas Subekti
Seminari Menengah Wacana Bhakti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar