Minggu, 29 Maret 2009

Sejarah Pangilan

Sejarah Panggilan
Sebagai bahan untuk retret kelas 2

Biodata

Nama : Joseph Biondi Mattovano
Tempat/Tanggal Lahir : Surakarta, 23 Januari 1991
Alamat : Jl. Sulawesi VI Blok A3 No.18 Sektor XIV Nusa Loka BSD City
Asal Paroki : Santa Monika, BSD City


Saya, Joseph Biondi Mattovano, anak sulung dari pasangan Yosef Tr Setyo Pribadi dengan Scholastika Indiyah Retno Cahyani Kumalasari. Saya adalah anak sulung laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Kalau saya ditanya mengapa ingin menjadi seorang imam? Secara spontan saya akan menjawab bahwa keinginan itu mulai muncul ketika saya menjadi anggota Putra Altar di Paroki Santa Monika, BSD. Saya menjadi anggota putara altar ketika saya duduk di kelas 4 SD. Sebagai anggota, saya termasuk anggota yang paling rajin untuk bertugas dan menggantikan mereka yang berhalangan tugas. Setiap minggu dan hampir setiap misa saya bertugas menjadi putra altar. Karena saya rajin bertugas dan hampir tidak pernah alfa untuk menjadi putra altar, maka dalam misa besar seperti natal atau paskah, para pengurus selalu memasukkan nama saya ke dalam daftar tugas misa besar. Entah kenapa, setiap kali saya bertugas menjadi putra altar selalu terlintas dalam pikiran saya keinginan untuk menjadi seorang pastur. Melihat sosok seorang pastur Ordo Sancta Crucis(OSC) atau lebih dikenal dengan Ordo Salib Suci yang sangat bijaksana, dihormati dan pandai berbicara ketika berkhotbah, maka ketertarikan dan keinginan saya ini semakin hari semakin kuat dalam diri saya
Sampai pada akhirnya, saya mengungkapkan keinginan ini kepada kedua orang tua saya. Syukurlah, kedua orang tua saya sangat mendukung dan selalu mendoakan anaknya. Pada penghujung tahun kelas 3 SMP, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri masuk seminari. Beberapa seminari seperti, Seminari Menengah Mertoyudan, Seminari Stella Maris Bogor, dan Seminari Menengah Wacana Bhakti menjadi pertimbangan saya. Kedua orang tua sayapun memberikan pilihan kepada saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendaftar dan mengikuti tes gelombang I di Seminari Wacana Bhakti. Saat itu, semua teman saya telah mendaftar dan mengikuti tes di SMA-SMA pilihannya. Tetapi, saya hanya memutuskan untuk mendaftar dan mengikuti tes Seminari, tidak ada SMA lain yang saya pilih. Semua ini berkat niat dan keyakinan saya bahwa jika ini memang kehendak Tuhan, maka saya pasti diterima masuk seminari. Ternyata, Tuhan sungguh mendengar dan menjawab doa saya. Sebuah surat pernyataan yang menuliskan bahwa saya diterima di seminari membaut perasaan saya penuh dengan kegembiraan
Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di seminari, muncul perasaan cemas dan sedikit grogi dalam hati saya. Perasaan ini yang membuat saya bertanya-tanya, “Seperti apa ya hidup berasrama di seminari yang notabene laki-laki semua?” Jujur, ini menjadi pengalaman pertama saya hidup berasrama. Kini saya mempunyai rumah yang baru dan keluarga yang baru, tentunya saya juga memiliki nama panggilan yang baru. Nama panggilan yang baru itu adalah Vano. Memasuki masa KPP, pergulatan yang saya alami adalah pergulatan yang seperti biasa dialami seorang anak yang baru pergi meninggalkan orang tuanya yaitu rasa rindu pada orang tua. Selain itu, masa KPP ini menjadi masa dimana saya juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan teman yang baru.
Setelah melewati masa KPP, saya harus memasuki masa yang baru di seminari, yaitu suatu masa dimana saya mempunyai komunitas yang baru lagi, yaitu SMA Gonzaga. Dalam komunitas yang baru ini saya juga harus beradaptasi supaya akhirnya saya menjadi bangga sebagai seorang seminaris. Bersyukurlah saya karena pada masa kelas 1 SMA ini saya tidak memiliki hambatan yang berarti dalam hal studi. Relasi dengan siswa-siswi SMA Gonzaga sudah mulai saya bangun, sehingga saya belajar banyak hal dari mereka dan merekapun juga belajar banyak hal dari kami, para seminaris. Ada hubungan timbal balik antara saya dengan teman-teman Gonzaga.
Setelah masa kelas 1 ini berakhir, angkatan kami yang berjumlah 10 orang saat itu masuk kelas 2. Angkatan kami ang berjumlah sepuluh orang dipecah menjadi 6 orang di kelas IPS dan 4 orang di Kelas IPA. Situasi angkatanpun menjadi berubah drastis ketika sudah dipecah. Kami saling berbagi cerita dan bertukar pikiran dalam angkatan. Pemisahan jurusan ternyata tidak mencerai beraikan tetapi malah saling menyatukan dan melengkapi.
Kelas 2 ini memang menjadi masa yang sibuk atau bisa dikatakan kelas 2 adalah tulangpunggung seminari, karena kami harus terlibat dalam berbagai kepanitiaaan inti. Kepanitiaan ini memang cukup menyita waktu kami, tetapi bagaimanapun juga kami harus pintar-pintar me’manage’ waktu dengan sebaik-baiknya. Karena keterlibatan kami ini, maka tidak menutup kemungkinan terjadi hubungan antara kami, panitia inti dengan para staff/pamanog. Pergulatan yang sering kali kami hadapi adalah munculnya suatu ketidak cocokkan antara pemikiran kami dengan staff. Mungkin apa yang dipikirkan oleh staff itu baik adanya tetapi dalam penyampaiannya sepertinya kurang dapat diterima oleh komunitas. Dari ketidakcocokkan ini, sebenarnya saya melihat mulai ada kerenggangan hubungan kami dengan staff.
Sepertinya saya pribadi juga merasa sedikit demi sedikit kehilangan figur seorang pendamping atau pamong pada masa kelas 2 ini. Untunglah, saya masih memiliki figure seorang pembimbing rohani yang baik dan mampu memberikan banyak ‘input’ kepada saya, yaitu romo rektor sendiri. Di tengah perjalanan kelas 2 ini, kami harus ditinggalkan oleh salah seorang anggota angkatan karena saya melihat kalau angkatan kami sepertinya juga kehilangan figure seorang pamong itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar