Senin, 02 Maret 2009

Refleksi Live-in

Segenggam Kacang Persahabatan dari Bumi Desa Putra

Satu lagi peristiwa kualami dengan segala pergulatan yang ada. Sungguh saya amat bersyukur dapat mengalami pengalaman yang menakjubkan, hidup merasakan dan menjadi seperti orang lain yang ternyata mungkin tak seberuntung diriku. Memang, salah satu hal yang paling saya syukuri selama saya masuk seminari adalah bahwa cakrawalaku dibuka, melihat realitas dunia yang ternyata begitu kompleks, variatif dan reflektif. Semua yang saya lakukan ini tentunya dimaksudkan agar kumampu mensyukuri segala yang kumiliki dan kujalani hingga saat ini. Lalu apa yang kupetik kali ini?
Aku coba menggali segalanya di sebuah Panti Asuhan. Ya, Desa Putra. Jujur, mulanya aku cukup kecewa ditempatkan di tempat ini. Aku pikir, tantangan dan pengalaman yang didapat mungkin tidak sebanyak di tempat live in lain. Namun satu hal yang perlu saya ingat adalah saya sudah mulai belajar, bahwa terkadang lingkungan berjalan tidak sesuai dengan yang kita harapkan, tetapi jangan sampai hal ini menghentikan langkahku untuk belajar dari orang lain.
Panti Asuhan Desa Putra. Sebuah tempat dimana rasa kekeluargaan timbul dari masing-masing anggotanya. Yang namanya panti asuhan, berarti anak-anak yang tinggal disana diasuh karena berbagai halangan dan hambatan yang dialami orangtua, sehingga mereka tak mampu mengasuhnya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan tak pernah melihat orang tuanya sejak lahir. Dari sini saja, aku sudah menemukan kenyataan pahit hidup seorang anak kecil yang masih dipenuhi aura kepolosan. Bertolak dari hal ini, aku ingin sedikit mengenal, mengamati dan coba ikut merasakan apa yang menjadi pergulatan hidup mereka selama ini.
Satu hal yang kupelajari selama saya melakukan kegiatan seperti ini adalah belajar untuk berani menyapa orang sang pemilik tempat. Hal ini juga saya lakukan di sini. Sayangnya hal ini tidak berjalan selancar yang saya kira. Melihat wajah para pengasuh, pastinya saya cukup gentar dengan tampangnya yang cukup menakutkan. Hal kecil seperti ini yang membuatku enggan menyapa. Namun aku yakin, pastinya mereka berhati mulia karena memiliki dedikasi bagi anak-anak yang bahkan tak mampu memperoleh perhatian dari orang tuanya sendiri. Saat hari pertama hampir berkahir, ada salah seorang ibu yang mengeluh kepada kami karena rasanya mereka para pengasuh kurang disapa sebagai yang empunya rumah,. Saya malah keasyikan langsung berbaur dengan komunitas anak di sana. Sebuah teguran yang cukup reflektif dimana dari sini kami bisa berintrospeksi tentang bagaimana ku harus bersikap. Nah, pembicaraan ini sungguh membuka cakrawalaku, bahwa tidak ada orang yang tidak senang disapa. Dari sini aku belajar untuk senantiasa mau dikritik, sejauh hal ini membantuku. Jadi, mulailah saya menyapa mereka dengan senang hati dan nyatanya mereka pun menyambutnya dengan senang pula.
Mulanya jujur aku bingung untuk memulainya. Muncul pertanyaan dalam diriku : “Apa yang harus kulakukan dan bagaimana cara ku memulainya?” Keraguan ini seakan disirnakan oleh seorang anak yang menghampiriku dan menanyakan tentang diriku. Nah, ternyata anak sekecil itu pun lebih berani memulai lebih dahulu, mau mengenal orang lain. Mulanya aku jadi malu sendiri, namun dari sini aku mulai berani untuk lebih akrab dengan mereka. Sekilas pandanganku mereka anak yang mandiri, penuh semangat, powerful, penuh mimpi, dan tak mudah menyerah. Dari sifat-sifat dasar mereka, aku melihat banyak kekurangan dariku yang justru ada dalam diri mereka. Mungkin banyak orang bilang sikap mereka akan liar sebagai anak tak ber-orangtua, tetapi aku melihat realitas ini sungguh dalam diri mereka. Mereka sungguh punya harapan besar untuk membahagiakan anak mereka sewaktu dewasa nanti.
“Hidup ini keras bung!” Ungkapan ini sangat terasa dan nampak jelas dalam kehidupan di sini. Mereka anak-anak yang bertahan dengan dirinya sendiri. Seberapa besar pun peran pengasuh, tetap tak mampu menggantikan sepenuhnya peran orangtua yang seharusnya menyalurkan kasih sayangnya kepada mereka. Aku menemukan satu momen perkelahian antar-anak kelas 2 SD. Sungguh mengherankan melihat bagaimana mereka saling baku hantam tanpa ada tangis saperti anak kecil pada umumnya. Hidup keras di asrama memaksa mereka untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ketika ancaman datang menghimpit diri, sudah selayaknya mereka membentuk pertahanan diri, agar tidak kalah sebelum berperang.
Sebagai sesama anak asrama (mereka anak panti asuhan dan saya anak seminari), tentunya kami punya berbagai perasaan yang mungkin sama kami rasakan. Aku melihat jelas bagaimana mereka terbiasa untuk makan daging, mungkin hanya 1 minggu sekali. (bandingkan dengan kami, yang kira-kira seminggu makan daging hingga 5 kali bahkan 10 kali). Ironisnya, ketika ada pesta atau sumbangan, mereka tidak senorak diriku saat pesta di seminari. Ketika aku melihatnya, terkadang aku jadi malu sendiri. Orang sepertiku yang mungkin berkecukupan, ternyata lebih kampung dibanding orang yang biasa saja bahkan kekurangan.
Apa yang kukerjakan di sana? Prinsipnya kami diberi kebebasan untuk mengamati, hidup dan merasakan segala seuatu yang terjadi di sana. Tentunya saya dan teman-teman tak hanya tinggal diam ketika mereka semua sekolah. Kami membantu sebuah pekerjaan kecil yang ternyata begitu berkesan, menyetrika baju. Sebuah pekerjaan yang amat sederhana bukan? Nah, di sini kami bisa saling sharing dan berbagi cerita dengan ibu dapur dan orang belakang panti. Mereka adalah orang-orang hebat yang mau membaktikan diri menjadi pelayan bahkan bagi anak-anak yang kekurangan kasih sayang dan perhatian. Ini yang juga jadi salah satu motivasiku, bisa berguna bagi orang kecil khususnya. Selain itu aku juga membantu mengajarkan adik-adik untuk menyelesaikan tugasnya dari sekolah. Satu hal yang cukup mengkawatirkan adalah, justu anak panti yang punya jadwal belajar teratur, malah kalah dibanding anak luar. Mereka kalah karena siswa luar mengikuti les tambahan, sedangkan mereka tidak. Belum lagi motivasi mereka belajar belum jelas, semata-mata agar tak dimarahi pengasuh. Sejenak merenung, seringkali aku juga melakukan hal yang sama, melakukan sesuatu atas dasar tekanan dan dorongan dari luar, bukan karena motivasi pribadiku.
Pokok inspirasi dan refleksiku adalah rasa persahabatan yang muncul dari kacang goreng, khas buatan ibu dapur panti. Hal kecil ini yang justru menjadi alat pemersatu kami. Saat kami datang, kami diberi satu mangkok penuh kacang goreng, sedangkan anak panti hanya dapat segenggam. Nah, dengan membagikan kacang favorit anak panti ini, saya bisa masuk ke pribadi mereka satu per satu : ngobrol sambil ngemil kacang bareng. Wow, sungguh menakjubkan pengalaman dan kisah mereka yang mungkin tidak kujumpai di tempat lain. Segenggam kacang persahabatan yang tak akan kulupakan dan justru menjadi jembatan yang baik bagi kami. Memang, segala komunikasi membutuhkan jembatan-jembatan kecil, sehingga terjadi suatu relasi yang erat satu sama lain.

Dari semua hal yang kuterima di sana, aku mampu melihat bahwa tidak selama segala kenyataan pahit yang kuterima dalam hidup menjadi batasan untuk mewujudkan mimpi. Kenyataan bahwa orang tua mereka tak mampu memberikan cinta sepenuhnya membuatku tahu arti sebuah kasih sayang yang sungguh menjadi perhiasan hidup manusia. Saya semakin yakin bahwa cinta memulai segalanya, dan itulah yang menjadi motivasi awal Tuhan menciptakan diriku dan semua makluk di dunia. Keterbatasan mereka sebagai anak panti membuat mereka memiliki semangat juang yang jauh lebih tinggi, demi menjadi manusia yang berguna minimal bagi dirinya sendiri. Aku sungguh tertegun dengan segala realita yang mereka alami. Kini, aku punya semangat lebih untuk senantiasa setia mengembangkan diri, demi masa depanku.
Sekian

Eduard Salvatore da Silva
Seminari Wacana Bhakti – Kolese Gonzaga
Jakarta 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar