Minggu, 29 Maret 2009

Makan kue bareng


Panjat pinang 2008


sebelum tampil dance


Main Basket


Sejarah Panggilan

Refleksi Panggilan

Saya Benedictus Donny Gotawa, kini orang-orang memanggil saya dengan sebutan Goni. Saya berasal dari paroki St. Bernadeth, Ciledug. Sebuah paroki kecil yang terletak di kawasan pinggiran kota Jakarta. Tidak memiliki gereja namun itu tidak menjadi hambatan bagi masyarakatnya untuk merayakan ekaristi bersama. Kerap kali kami mendirikan “gereja rumah” dan mengadakan ekaristi dengan mengundang pastor paroki untuk memimpin perayaan ekaristi tersebut. Biasanya setelah misa kami mengadakan ramah-tamah dengan sarapan bersama pastor yang memimpin misa kala itu. Toh, dengan demikian kami pun menjadi mengenal lebih dekat dengan pastor-pastor yang ada di paroki kami.
Saya memberanikan diri untuk menjawab panggilan-Nya ketika saya berada di kelas 3 SMP. Dengan dibekali doa dan restu dari orang-orang terdekat, dengan sadar saya memilih Seminari Wacana Bhakti sebagai tempat pertanggungjawaban atas panggilan ini.
Begitu banyak dari mereka yang mempertanyakan bahwa kenapa saya ingin menjadi pastor. Saya tidak dapat menjelaskannya secara pasti. Saat itu saya ingin menjadi pastor karena menurut penglihatan saya, pastor adalah seorang bapak yang baik. Berkaca dari empirisme keawaman saya pada waktu itu yang berpendapat bahwa kata-katanya seolah penuh rahmat yang berasal dari ion-ion positif. Selain itu saya juga suka memperhatikan pastor yang sedang mempersiapkan persembahan pada saat misa. Tidak tahu seperti apa bentuknya, tapi saya yakin bahwa itu adalah kekuatan dari Tuhan karena pastor itu dekat dengan Tuhan.
Saya berusaha mempercayai bahwa setiap keyakinan itu pasti terlaksana. Saya meyakini keputusan saya untuk masuk seminari merupakan modal awal sebagai pemberanian diri untuk hidup lebih maju ke depan. Ya, saya mencoba untuk mengenal, memahami dan mengolah sapaan yang diberikanNya kepada saya. Lewat seminari menengah adalah satu-satunya cara yang paling tepat agar tercapainya maksud saya waktu itu.
Setahun dua tahun telah saya jalani hidup baru sebagai seorang seminaris muda. Puji dan syukur saya haturkan kepadaNya karena selama itu saya tidak menjumpai hambatan dan rintangan yang berarti. Let it flow. Ya, saya membiarkan hidup dan diri saya mengalir begitu saja.
Berjalan dengan waktu, saya pun mengalami proses dinamika yang melemahkan semangat panggilan hidup saya di kelas 2 ini. Seolah-olah Salib yang saya panggul kini menjadi begitu berat luar biasa. Banyak persoalan intern maupun ekstern yang saya jumpai setahun belakangan ini dan cukup memberatkan posisi saya disini. Krisis kepercayaan terhadap diri sendiri, keluarga, sekolah, relasi dengan teman sekomunitas dan juga para pamong seminari. Kiranya ada banyak hal di luar sana yang menunggu saya untuk menjawabnya. Semua persoalan seakan seperti misteri. Mencoba mencocokkan kode demi kode untuk dipecahkan, tapi selalu bertemu kembali dgn sebuah tanda tanya besar. Keyakinan kadang tergoyahkan karena ketakutan mitos pribadi yang mengatakan bahwa optimistis yang terlalu tinggi biasanya akan mendapat jauh dari hal yang diharapkan. Maka kejadian selanjutnya akan berteman dgn kekecawaan. Tapi pesimistis juga sebuah sikap yang salah untuk mengejar kelegaan. Lalu bagaimanakah formula yang tepat?
Semakin hari, semakin banyak hal yg membuat jalan pikiran terbuka dan membuat saya terpacu untuk menjadi dewasa dalam mengatasi segala hal, termasuk persoalan. Mungkin belum sempurna, tapi cukup untuk menuju sebuah pendewasaan diri. Memulai untuk belajar menerima banyak hal yang semakin menunjukkan bahwa inilah sebuah dunia nyata!
Saya banyak merenung untuk jangka waktu yang cukup lama. Seperti ada sesuatu hal di luar sana yang menunggu saya. Entah apa, tapi kekuatannya sungguh besar. Dalam masa-masa ini, saya pun mencoba belajar untuk berpuasa dalam berkata-kata. Saya ingin lebih mendengarkan hati nurani. Namun karena itu saya justru menjadi terlalu menutup diri.



Benedictus Donny Gotawa

Sejarah Pangilan

Sejarah Panggilan
Sebagai bahan untuk retret kelas 2

Biodata

Nama : Joseph Biondi Mattovano
Tempat/Tanggal Lahir : Surakarta, 23 Januari 1991
Alamat : Jl. Sulawesi VI Blok A3 No.18 Sektor XIV Nusa Loka BSD City
Asal Paroki : Santa Monika, BSD City


Saya, Joseph Biondi Mattovano, anak sulung dari pasangan Yosef Tr Setyo Pribadi dengan Scholastika Indiyah Retno Cahyani Kumalasari. Saya adalah anak sulung laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Kalau saya ditanya mengapa ingin menjadi seorang imam? Secara spontan saya akan menjawab bahwa keinginan itu mulai muncul ketika saya menjadi anggota Putra Altar di Paroki Santa Monika, BSD. Saya menjadi anggota putara altar ketika saya duduk di kelas 4 SD. Sebagai anggota, saya termasuk anggota yang paling rajin untuk bertugas dan menggantikan mereka yang berhalangan tugas. Setiap minggu dan hampir setiap misa saya bertugas menjadi putra altar. Karena saya rajin bertugas dan hampir tidak pernah alfa untuk menjadi putra altar, maka dalam misa besar seperti natal atau paskah, para pengurus selalu memasukkan nama saya ke dalam daftar tugas misa besar. Entah kenapa, setiap kali saya bertugas menjadi putra altar selalu terlintas dalam pikiran saya keinginan untuk menjadi seorang pastur. Melihat sosok seorang pastur Ordo Sancta Crucis(OSC) atau lebih dikenal dengan Ordo Salib Suci yang sangat bijaksana, dihormati dan pandai berbicara ketika berkhotbah, maka ketertarikan dan keinginan saya ini semakin hari semakin kuat dalam diri saya
Sampai pada akhirnya, saya mengungkapkan keinginan ini kepada kedua orang tua saya. Syukurlah, kedua orang tua saya sangat mendukung dan selalu mendoakan anaknya. Pada penghujung tahun kelas 3 SMP, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri masuk seminari. Beberapa seminari seperti, Seminari Menengah Mertoyudan, Seminari Stella Maris Bogor, dan Seminari Menengah Wacana Bhakti menjadi pertimbangan saya. Kedua orang tua sayapun memberikan pilihan kepada saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendaftar dan mengikuti tes gelombang I di Seminari Wacana Bhakti. Saat itu, semua teman saya telah mendaftar dan mengikuti tes di SMA-SMA pilihannya. Tetapi, saya hanya memutuskan untuk mendaftar dan mengikuti tes Seminari, tidak ada SMA lain yang saya pilih. Semua ini berkat niat dan keyakinan saya bahwa jika ini memang kehendak Tuhan, maka saya pasti diterima masuk seminari. Ternyata, Tuhan sungguh mendengar dan menjawab doa saya. Sebuah surat pernyataan yang menuliskan bahwa saya diterima di seminari membaut perasaan saya penuh dengan kegembiraan
Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di seminari, muncul perasaan cemas dan sedikit grogi dalam hati saya. Perasaan ini yang membuat saya bertanya-tanya, “Seperti apa ya hidup berasrama di seminari yang notabene laki-laki semua?” Jujur, ini menjadi pengalaman pertama saya hidup berasrama. Kini saya mempunyai rumah yang baru dan keluarga yang baru, tentunya saya juga memiliki nama panggilan yang baru. Nama panggilan yang baru itu adalah Vano. Memasuki masa KPP, pergulatan yang saya alami adalah pergulatan yang seperti biasa dialami seorang anak yang baru pergi meninggalkan orang tuanya yaitu rasa rindu pada orang tua. Selain itu, masa KPP ini menjadi masa dimana saya juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan teman yang baru.
Setelah melewati masa KPP, saya harus memasuki masa yang baru di seminari, yaitu suatu masa dimana saya mempunyai komunitas yang baru lagi, yaitu SMA Gonzaga. Dalam komunitas yang baru ini saya juga harus beradaptasi supaya akhirnya saya menjadi bangga sebagai seorang seminaris. Bersyukurlah saya karena pada masa kelas 1 SMA ini saya tidak memiliki hambatan yang berarti dalam hal studi. Relasi dengan siswa-siswi SMA Gonzaga sudah mulai saya bangun, sehingga saya belajar banyak hal dari mereka dan merekapun juga belajar banyak hal dari kami, para seminaris. Ada hubungan timbal balik antara saya dengan teman-teman Gonzaga.
Setelah masa kelas 1 ini berakhir, angkatan kami yang berjumlah 10 orang saat itu masuk kelas 2. Angkatan kami ang berjumlah sepuluh orang dipecah menjadi 6 orang di kelas IPS dan 4 orang di Kelas IPA. Situasi angkatanpun menjadi berubah drastis ketika sudah dipecah. Kami saling berbagi cerita dan bertukar pikiran dalam angkatan. Pemisahan jurusan ternyata tidak mencerai beraikan tetapi malah saling menyatukan dan melengkapi.
Kelas 2 ini memang menjadi masa yang sibuk atau bisa dikatakan kelas 2 adalah tulangpunggung seminari, karena kami harus terlibat dalam berbagai kepanitiaaan inti. Kepanitiaan ini memang cukup menyita waktu kami, tetapi bagaimanapun juga kami harus pintar-pintar me’manage’ waktu dengan sebaik-baiknya. Karena keterlibatan kami ini, maka tidak menutup kemungkinan terjadi hubungan antara kami, panitia inti dengan para staff/pamanog. Pergulatan yang sering kali kami hadapi adalah munculnya suatu ketidak cocokkan antara pemikiran kami dengan staff. Mungkin apa yang dipikirkan oleh staff itu baik adanya tetapi dalam penyampaiannya sepertinya kurang dapat diterima oleh komunitas. Dari ketidakcocokkan ini, sebenarnya saya melihat mulai ada kerenggangan hubungan kami dengan staff.
Sepertinya saya pribadi juga merasa sedikit demi sedikit kehilangan figur seorang pendamping atau pamong pada masa kelas 2 ini. Untunglah, saya masih memiliki figure seorang pembimbing rohani yang baik dan mampu memberikan banyak ‘input’ kepada saya, yaitu romo rektor sendiri. Di tengah perjalanan kelas 2 ini, kami harus ditinggalkan oleh salah seorang anggota angkatan karena saya melihat kalau angkatan kami sepertinya juga kehilangan figure seorang pamong itu sendiri.

Sejarah Pangilan

Refleksi.

Saya Andreas Subekti, akrab di panggil Bekti. Kurang lebih hampir dua setengah tahun saya tinggal di seminari Wacana Bahkti. Sekarang saya tingkat tiga dan menjalani pendidikan di kelas dua.

Saya berasal dari paroki Kalvari, Lubang Buaya. Sebuah paroki yang masih mencari jati diri, karena usianya masih sangat muda dan masih dalam proses pembangunan yang mengalami sedikit hambatan. Banyak pengalaman yang saya rasakan selama saya berada di paroki sebelum saya masuk seminari.

Dulu saya aktif di misdinar paroki. Saya termasuk anggota yang cukup aktif. Dan dari semua misdinar yang mendaftarkan diri bersama saya. Pada akhirnya hanya saya yang tertinggal menjadi anggotanya, sampai akhirnya saya masuk seminari. Dari misdinar itulah muncul ketertarikan pada diri saya untuk menjadi seorang imam. Pada awalnya saya selalu memperhatikan saat imam membersihkan piala setelah digunakan. saya suka mengamati bagian itu karena melihat suatu bentuk pelayanan dan kerendahan hari seorang imam.

Saya juga mempunyai pengalaman yang bisa dikatakan agak mistis. Ketika saya duduk di kelas 3 SD, saya pernah bermimpi bahwa dirumah diadakan misa konselebrasi. Tiga orang imam datang untuk mempersembahkan ekaristi. Mimpi itu saya anggap tidak mempunyai makna apa-apa, semuanya berlalu sampai saya kelas 1 SMP. Saat saya mengulang memori mimpi itu saya mengingat-ingat. Saya merasakan bahwa mimpi itu benar-benar nyata. Saya sempat menanyakan pada orang tua apakah itu benar-benar nyata. Ternyata tidak pernah ada misa konselebrasi dirumah saya. Tetapi setelah saya mengingat-ingat, ternyata saya hanya mengingat 2 orang imam yang datang, yaitu kedua pastur paroki saya. Saya tidak pernah bisa mengingat seseorang pastur yang ketiga. Dari situ saya mengambil refleksi bahwa Tuhan memanggil saya untuk menjadi imam yang ketiga tadi, yang sampai sekarang tidak pernah saya ketahui siapakah dia.

Setelah dua setengah tahun berada di seminari, saya mulai tertarik dengan ordo-ordo yang ada. Pertama kali saya tertarik dengan Serikat Jesus, saya menyukai bahwa mereka bekerja dengan suka hati dan dengan semangat santo Ignatius. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya mulai tertarik dengan imam diosesan. Mungkin ini pengaruh dari pastur paroki yang diganti dengan imam projo. Dan setelah saya membaca buku tentang imam diosesan, saya tertarik untuk menghadapi tantangan yang ada di Jakarta. Karena saya melihat bahwa Jakarta adalah kota yang memiliki banyak muka.

Kemarin baru saja saya live-in di daerah Tanah Abang. Saya meneliti tentang tempat prostitusi di Tanah Abang. Sementara saya melihat di Kali Malang ada umat yang tinggal di bantaran kali. Sementara di pusat kota banyak mall-mall berdiri dengan megahnya. Ini memperlihatkan bahwa Jakarta penuh tantangan. Dan saya sebagai anak Jakarta ingin mencoba menghadapi tantangan yang ada di kotaku sendiri.

Pergulatanku saat ini adalah mungkin setelah selama kurang lebih dua tahun tinggal bersama laki-laki. dan mulai kelas dua ini kami mulai digabungkan dengan lawan jenis. Karena saya juga remaja normal ada rasa ketertarikan dengan lawan jenis. Mungkin pergulatan saya saat ini adalah seperti itu. Ada rasa ingin diperhatikan oleh orang lain. Sepertinya saya belum menemukan cara yang ampuh untuk mengolah perasaan ini. Saya sudah sering berusaha untuk menyalurkan kegiatan yang lain. Tapi ya tetap saja ada perasaan yang mengusik. Saya menganggapi sebuah tantangan dalam panggilan. Dimana saya ditantang untuk mengolah perasaan saya ini. Karena ini adalah tantangan.

Sejarah Panggilan

Panggilan : Sebuah Proses Panjang
Eduard Salvatore da Silva - Desember 2008

Ketika ku mulai untuk menggambarkan apa yang disebut panggilan bagiku, justru yang muncul adalah “sulit diungkapkan dengan kata-kata”. Ya, memang bagiku panggilan adalah proses pencapaian tujuan hidup manusia yang dijalani dan diperjuangkan selama proses hidup itu sendiri. Jadi, kalau sekarang saya mendeskripsikan panggilan, itu adalah satu proses dinamika yang mengasyikan.
Tak terasa aku mengenal istilah panggilan hidup kurang lebih dua setengah tahun ini. Kami yang didik dalam suatu kesatuan komunitas yang disebut seminari, intinya mengarahkan seseoarng untuk mencapai panggilan hidup yang paling sesuai bagi hidupnya. Aku, yah…ketika aku melihat motivasi awalku masuk dan bergabung dengan komunitas ini amat sederhana. Saya hanya memikirkan hal-hal pratis dan hal-hal yang bisa membuat saya terlihat keren jika saya bisa sekolah mandiri, berasrama, mampu mengatur diri sendiri, tidak tergantung keluarga lagi. Aku yakin akan mampu menemukan sesuatu yang mungkin bisa jadi gambaran besar diriku kelak, di masa yang akan datang.
Karena kebodohanku, dimana mataku terhalang oleh motivasi-motivasi yang semu ini. Ketika saya memiliki satu momen menyadari apa yang akan mulai saya jalani (masuk seminari maksudnya), saya akan bergabung dengan orang-orang dewasa, bertanggungjawab, mandiri dan terpanggil untuk berkarya khusunya jadi sorang imam. Ah……imam seakan saya baru tersadar bahwa ternyata seminari adalah tempat pendidikan, khusunya bagi para calon imam. Namun setelah kurenungkan kembali ya…. Ikut dan lihatlah.......seperti kata Yesus sendiri.
Dengan ini dimulailah perjalananku di tempat yang terasa asing bagiku. Apa ya yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Beberapa bulan pra-masuk seminari, saya tergerak untuk membiasakan diri melakukan kegiatan yang akan saya jalani, misalnya belajar cuci baju, setrika, bersih-bersih rumah dan kegiatan lainnya. Dari hal kecil macam itu, ternyata orang-orang di rumah saya kaget dengan kesungguhan saya mempersiapkan diri. Kalau dipikir-pikir saya sendiri bingung dengan motivasi serius tapi santai yang muncul dari benakku. Tetapi semua itu menjadi bumbu penyedap motivasiku, dalam menapakai segala tantangan.
Tanggal dua belas Juli tahun dua ribu enam menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupku. Ya, saat itulah ku memasuki masa-masaku di seminari, tempat tinggal baruku. Proses MOSB yang begitu beratnya menjadi bumbu manis bagiku mengantarku masuk sebagai komunitas baru yang tidak takut akan segala tantangan yang akan menghadang. Setelah kurenungkan kembali, ternyata apa yang kujalani selama MOSB menggambarkan apa yang akan kualami dalam hidupku di tempat ini.
Proses tiga bulan pertama terasa jelas menjadi beban sekaligus berkat tebesar yang kuterima. Saya jadi semakin menyadari pentingnya keluarga, teman-teman dan orang-orang terdekat yang selama ini mungkin kurang saya hargai keberadaannya. Mereka sungguh menjadi motivasi saya dan memang pada masa ini saya menyadari pentingnya peran mereka dalam hidupku. Namun, satu hal baru yang saya peroleh disini adalah kenyataan bahwa disini saya memiliki puluhan saudara, kakak baru, ya,….komunitasku dari satu angkatan KPP (12 orang ini) + kelas I, II dan III. Saat-saat kangen, rindu, sedih merupakan momen untuk saling menguatkan dan meneguhkan. Toh, akhinya momen ini jadi kenangan yang sangat berarti bagiku pribadi.
Momen tiga bulanan selesai bisa dibilang ini menjadi titik balik motivasiku yang dulu amat cetek, kini semakin dimurnikan. Ya, saya semakin memahami makna panggilan hidup yang sedang saya jalani ini. Saya melihat ada sesuatu yang unik dari pribadi seorang kaum religius yaitu ketenangan dan ketulusan hatinya memberi apa yang dia miliki, yaitu dirinya sendiri. Semangat ini yang memurnikan motivasi saya bahwa jadi imam bisa menjadi salah satu cara saya memberikan diri bagi kepentingan orang lain. Ingin rasanya melihat orang lain tersenyum dan tentunya saya merasakan suatu perasaan yang amat membahagiakan ketika saya mampu memberikan kebahagiaan juga kepada orang lain. Dari sini saya melihat bahwa sosok imam juga penting bagiku dan bagi orang-orang di sekitarku. Dari sinilah, jalanku mulai kelihatan.
Intinya selama dua setengah tahun aku menjalani segalanya, saya menemukan kebahagiaan tersendiri, mampu mengalami pengalaman-pengaaman unik, bertemu dengan berbagai macam orang, mampu merasakan saat-saat gembira dan saat-saat susah jauh dari keluarga dan banyak lagi. Semua itu menjadi goresan berarti dalam kehidupanku dan akan terus saya ukir untuk mencari jawaban yang paling bijaksana atas pertanyaanku selama ini, “kemana ku harus melangkah?” Bagaimana caranya saya akan berusha sebaik mungkin menjalani segalanya untuk memurnikan motivasiku hingga menemukan apa yang kucari sampai satu saat ku berkata: “Memang ini Jalanku…”

Sejarah Panggilan

Refleksi Panggilan

Nama : Albertus Monang
Kelas : II
Alamat : Jln. Perum Guru Blok C8 no 7, Bekasi Timur
Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 14 Agustus 2008
Asal paroki : St. Arnoldus


Nama saya Albertus Monang saya sudah dua tahun tinggal di Seminari Wacana Bhakti, tahun ini saya sedang menjalani tahun ketiga di Seminari ini. Saya merupakan seorang anak yang berasal dari keturunan suku Batak. Saya adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Awalnya saya tertarik menjadi seorang imam ialah ketika sya kecil saya diajak untuk kegereja pada hari Minggu, lalu sesampai didepan pintu gerbang gereja saya melihat seseorang mengenkan jubah warna putih dan juga banayak yang menyalaminya ia tampak seperti seorang artis. Saya bertanya kepada orang tua saya siapakah dia, lalu orang tua saya menjawab bahwa ia adalah seorang imam, dari sinilah awal ketertarikan saya untuk menjadi seorang imam.
Beranjak ke remaja, saya mulai tertarik untuk mencari data – data untuk menjadi seorang imam, saya mulai mencari jalan apa saja yang harus dijalani jika seseorang ingin menjadi imam. Saat saya beranjak kekelas 2 SMP, niat saya untuk menjadi seorang imam berangsur – angsur mulai menurun karena saya mulai tertarik dengan perempuan. Saya mulai meninggalkan niat saya untuk menjadi imam, namun hal aneh saya rasakan yaitu ketika saya beranjak kekelas 3 SMP niat untuk menjadi seorang imam mulai tumbuh lagi, malahan menurut saya niat kali ini sungguh besar melebihi niat saya saat saya masih kecil.
Saat kelas 3 SMP akhir, ketika saya disuruh untuk mencari sekolah SMA saya meminta untuk mencoba tes di Seminari, awalnya orangtua saya menolak namun karena masih dalam mencoba saya diperbolehkan untuk tes di seminari. Ketika pengunguman keluar dari seminari ternyata hasilnya ialah saya diterima si seminari saya sangat senang. Maka saya langsung memenuhi semua persyaratan yang diminta dari pihak seminari. Ketika saya lulus, saya tidak sabar untuk masuk ke seminari, nemun yang terjadi ialah adanya penolakan dari orangtua saya, ini membaut diri saya bimbang namun saya mencoba untuk memastikan kepada orang tua bahwa saya bisa untuk menjalani hidup di seminari.
Masuk seminari, tak terbayang di pikiran saya apapun bahwa saya bisa menjadi seorang seminaris. Ketika masuk menjadi KPP, MOSB(Masa Orientasi Siswa Baru) benar – benar menguji mental dan fisik saya, bahwa untuk menjadi seorang imam tidaklah mudah, awal saja sudah terasa sangat sulit, namun saya mencoba untuk menjalani masa KPP dengan sebaik – baiknya. Saya beterima kasih kepada Fr. Ulun yang telah membantu saya untuk merubah diri saya dari pemarah menjadi orang yang cukup sabar, inilah hasil saya di KPP saya merasa bahwa diri saya mulai harus dibentuk, dan akhirnya saya naik kelas kekelas X dengan nilai yang memuaskan.
Kelas X ialah dimana saya dicampur dengan teman – teman Gonzaga, disini saya merasa bangga menjadi seorang seminaris, karena teman – teman saya menganggap pribadi saya dengan angkatan saya lebih dari mereka inilah yang membuat saya terus termotivasi agar saya selalu ingin berbuat jujur dan baik layaknya seorang seminaris. Di tahun ini saya mengolah diri saya agar tidak terlena dengan bantuan – bantuan yang berlebihan yang diberikan kepada saya dari teman – teman Gonzaga. Saya naik kekelas XI IPA, saya berharap agar nantinya saya bisa terus menjalani hidup di seminari dengan baik.
Kealas XI disini saya benar – benar sudah harus menjalani masa formatio dengan sebaik – baiknya, saya harus mengolah diri saya, pribadi saya bahawa bagaimana diri saya dalam menjalani hidup panggilan diseminari. Saya benar – benar harus mengolah diri saya agar benar – benar tetap lanjut. Maka dengan retret yang akan saya jalani saya ingin mengolah batin saya dan benar – benar ingin mengetahu diri saya.

Refleksi Panggila

Refleksi Panggilan

Nama: Carolus Astabrata
Kelas: II
Alamat: Jl. Mesjid Al Ridwan no 65, Pasar Minggu, Jakarta Selatan


Saya Carolus Astabrata, seminaris Wacana Bhakti kelas dua, angkatan 20. Saya sudah beberapa tahun terakhir ini menjalani formatio dengan segala suka-duka di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Semua ini berawal dari cerita masa kecil saya. Saya ingat ketika saya masih kelas 1 SD, saya melihat sosok seorang imam, dengan segala kharisma dan jubah yang putih berkilau-kilauan, memimpin misa dengan sangat khusyuk. Saya ingat kalau waktu itu saya bertanya pada orang tua saya, siapa sesungguhnya mereka itu. Orang tua saya mengatakan kalau ia adalah seorang imam yang bertugas untuk memimpin misa dan ia dekat dengan Tuhan. Saya semakin tertarik dan saya katakan waktu itu,”Kalau begitu saya akan jadi Pastor saja.” Ibu saya hanya tertawa dan lalu berkata,”Nanti kamu tidak bisa menikah.” “Ya sudah , apa pengaruhnya?”, tukas saya.
Kata-kata yang saya ucapkan sekenanya itu ternyata tertanam dengan baik dalam pikiran saya selama beberapa tahun ke depan. Saya semakin mersa bahwa ini bukan lagi guyonan masa kecil, melainkan panggilan dari Tuhan. Semua ini bukan hanya saya yang merasakannya. Kakak dan adik saya pun demikian. Ini tidak lepas dari peran serta dan dukungan orangtua. Saya selalu terkenang bagaimana dahulu kami sekelyuarga selau berdoa rosario setiap malam. Bahkan, hingga kini pun ayah saya berdoa rosario enam kali sehari untuk masing-masing anaknya. Hal ini ia lakukan ketika kakak saya masuk ke seminari Wacana Bhakti. Ini sesuatu yang tidak akan dianggap berguna oleh kebanyakan orang. Tapi saya sungguh merasakan sampai hari ini saya selalu bertahan dari segala percobaan di seminari. Kini pun saya sudah bertiga berada di seminari dengan kakak dan adik saya.
Kami hidup di sini bukannya tanpa gangguan. Dahulu, ketika saya pertama kali masuk, ada seorang frater yang benci kepada saya. Bah, setelah ditelusuri, ternyata ia menyimpan suatu kekesalan terhadap Anes, kakak saya. Semenjak itu saya semakin merasakan ketidak-sukaan itu bertambah. Puncaknya, saya dipermalukan akan kekurangan saya (dalam hal ini tidur waktu misa) di hadapan semua teman, lalu membandingkannya dengan Anes. Saya yang merasa tidak nyaman mulai mengetuk-ngetuk jari ke meja dan melihat jam. Karena hal itu saya diusir dari kelas. Saya yang berusaha berdamai tidak mendapatkan tindakan seorang gentleman dan ia tidak sudi menerima permintaan maaf saya walau saya sebenarnya tidak tahu di mana salah saya.
Saya marah. Ini kemarahan saya yang terbesar dan tidak kunjung padam sampai hari ini. Saya laporkan pembodohan itu pada rektor. Ya, itu pembodohan! Lantas sang frater pun dipanggil tapi tetap saja saya tidak merasakan ia mau berdamai. Tidak apa-apa. Itu memberi saya alasan untuk membencinya terus menerus. Maka sejak saat itu saya kehilangan hormat pada semua formator.
Lanjut ke kelas 1, saya mengalami pergolakan batin. Entah itu hidup studi atau rohani. Tapi untungnya ayah saya selalu dapat memadamkan siksa batin yang mendesak saya meninggalkan tempat ini. Kata-katanya jauh lebih bertuah dari pembimbing rohani manapun. Terus terang kelas 1 ini saya kehilangan fungsi dari pembimbing rohani. Saya tidak dapat menangkap dengan baik apa yang ia bicarakan. Saya malah jadi pihak yang mendengarkan. Saya rasa saya kurang cocok dengannya. Tapi yang jelas, segala badai rintangan kelas 1 itupun terlewati juga.
Kelas 2, kendala utamanya adalah studi, saya butuh neuron otak yang lebih cepat untuk menerima pelajaran di jurusan IPA. Saya harus berusaha keras kali ini. Kali inipun saya juga mengalami guncangan. Anehnya datangnya dari pembimbing rohani sendiri. Dalam suatu kesempatan, kami membahas pergaulan saya. Ia bilang saya ini terlalu tertutup. Saya sendiri tidak terganggu, lagipula saya hanya sulit terbuka dengan SMA Gonzaga. Ia malahan berkata kalau saya wajib lebih terbuka dengan mereka. Ini tertulis di buku pedoman. Kalau tidak bisa ya keluar saja. Wow, kata-kata yang sangat hebat! Keluar itu segampang itu ya? Tidak terima, saya terus menandingi argumennya sampai waktu kami habis. Sekarang kami tiga bersaudara di sini. Ternyata para formator seolah memandang kami hanya ingin sekolah gratis! Soal ini akan saya ceritakan lebih lanjut kalau kita bertemu nanti. Tetapi Romo, untuk sekarang hanya ini yang dapat saya sampaikan.

Sejarah Panggillan

SEJARAH PANGGILAN

Panggilan merupakan sebuah misteri yang tidak diketahui oleh manusia apalagi sebagai calon imam. Menjadi seorang imam merupakan suatu anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia yang telah dipilih oleh Tuhan sendiri. Setiap orang mempunyai panggilan yang berbeda-beda, sehingga biasa disebut dengan Personal Vocation. Pada diri saya pun panggilan menjadi seorang imam sudah melekat ketika duduk di bangku SD kelas empat. Keinginan menjadi seorang imam termotivasi dengan sosok seorang imam yang bertugas di paroki saya. Ketika kelas enam SD panggilan menjadi seorang imam pun sudah tidak terlalu lekat pada diri saya lagi, meskipun teman-teman SD saya mendukung untuk menjadi seorang imam.
Akhirnya saya melanjutkan pendidikan saya di asrama Vincentius Putera dengan nama sekolah Sint Yoseph. Dalam asrama saya memulai untuk hidup mandiri. Awalnya saya merasa berat sekali untuk menjalani segala kegiatan yang ada. Dukungan teman-teman senantiasa menguatkan diri saya untuk tetap bertahan dan krasan. Bukanlah hal yang mudah untuk menjalani kehidupan di asrama yang mempunyai banyak anak-anak dengan latar belakang keluarga yang berbeda-beda.
Kelas satu SMP saya sudah tidak memikirkan lagi panggilan menjadi seorang imam. Saya hanya menjalani kehidupan sebagai remaja pada umumnya. Saya sungguh menikmati masa-masa remaja di Sekolah. Banyak pengalaman yang saya dapatkan selama duduk di bangku SMP kelas satu. Pengalaman tersebut menjadi bekal bagi diri saya untuk masa depan dan sebagai dinamika kehidupan yang saya jalani. Pada kelas dua SMP saya mulai tertarik dengan kakak kelas yang memutuskan untuk masuk Seminari.
Keinginan untuk menjadi seorang imam tumbuh lagi pada diri saya. Akhirnya saya memutusakan untuk mengikuti tes di seminari dan pada akhirnya saya diterima. Menjadi seorang imam merupakan hal yang menakutkan bagi diri saya. Pada awalnya saya merasa ragu untuk menjalani tetapi dengan keberanian dan motivasi yang kuat akhirya saya menjalani kehidupan di Seminari.
Pada tahun pertama motivasi menjadi seorang imam memang sangat melekat pada diri saya. Dengan motivasi yang saya miliki saya mampu menyelesaikan program studi KPP. Tantangan selama KPP bagi saya tidak terlalu berat yaitu hanya mencoba untuk tidak bergantung pada orang luar selama tiga bulan termasuk orang tua. Tantangan yang paling berat yaitu beradaptasi yaitu menyesuaikan keadaan yang ada di Seminari. Hal tersebut yang sungguh menjadi tantangan bagi diri saya. Pergulatan yang ada mampu saya atasi dengan membuka diri saya pada orang lain.
Kehadiran teman-teman komunitas seminari sungguh menjadi kekuatan saya untuk menjalani panggilan ini. Tahun kedua di Seminari yaitu saatnya diri saya untuk bergabung dengan komunitas SMA GONZAGA. Dalam menjalani pendidikan di SMA ini banyak pergulatan yang saya alami terutama dengan teman-teman di Sekolah. Kehadiran teman-teman Gonzaga sungguh menjadi tantangan bagi diri saya untuk membawa mereka semua pada jalan yang benar. Di situlah saya mencoba untuk melath diri saya untuk bisa memahami karakter orang lain.
Di Gonzaga pun saya mengenal yang namanya solidaritas antar siswa dan siswi SMA GONZAGA. Tahun pertama di Gonzaga dapat saya jalani dengan baik meskipun belum maksimal. Pada tahun ketiga di seminari Wacana Bhakti, saya mulai mengubah pola hidup saya untuk menjadi lebh baik. Di tahun ketiga inilah saya duduk di bangku kelas dua SMA dimana saya harus menentukan jurusan. Saya pun masuk jurusan IPS dan di tahun kedua inilah kami para seminaris mulai digabung dengan siswi-siswi Gonzaga. Kehadiran mereka sungguh menjadi tantangan bagi kami semua para seminaris untuk bisa mengolah kehadiran mereka.
Sesungguhnya hal itu sangat membantu kami sebagai calon imam ketika kami menjadi seorang imam. Tentunya perempuan pun akan hadir sebagai umat yang harus digembalakan pada jalan yang benar. Perjalanan panggilan yang saya jalani ini sunguh sangat istimewa bagi diri saya. Kehadiran orang lain pun sangat saya butuhkan sebagai kekuatan diri syaa untuk mejalani panggilan ini. Semangat missioner dalam diri saya juga membantu saya menguatkan diri saya dalam menjalani panggilan ini.


Oleh: Theodorus Egep Henakin/ Kelas II /
Seminari Wacana Bhakti

Minggu, 15 Maret 2009

Sudahkah kita Berbahasa dengan Baik?


Zaman telah berubah dan tuntutan pun semakin banyak. Efek dari apa yang dinamakan globalisasi seakan-akan menghilangkan identitas kita sebagai orang Indonesia.

Pada kesempatan, saya hanya ingin membahas kecendrungan masyarakat kita, khusunya para remaja yang tak mampu menggunakan bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Lebih parahnya lagi, seringkali kita menggunakan bahas Indonesia campur setengah ke-Inggris-an.

Mungkin kata-kata seperti : Sorry, By the Way (BTW), Oh my God (OMG), dsb sering kita gunakan dalam komunikasi kita. Nah, kata-kata Inggris setengah mateng inilah yang seakan-akan menghilangan kecintaan kita kepada bahasa kita sendiri.

Sebenarnya ketika kita berbicara tentang bahasa Indonesia, ada banyak alasan yang sebenarnya bisa membuat kita bangga. Tahukah kamu bahwa bahasa Indonesia itu punya kemampuan untuk menyatukan bangsa Indonesia yang besar ini?

Sejarah membuktikan bahwa tanggal 28 Oktober 1928 menjadi hari penegasan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, adat dan istiadat dapat disatukan dengan hal ini. Kekayaan bangsa kita dapat disesuaikan dengan bahasa kita bersama.

Sekarang pertanyaannya, mengapa kita seakan malu berbahasa Indonesia? Semoga ini jadi permenungan kita bersama!

Sabtu, 07 Maret 2009

Refleksi Expo Panggillan

Butuh Pengorbanan Mencari Teman Seperjalanan

Panggilan di Jakarta semakin hari semakin memprihatinkan,oleh sebab itu saya bersama komunitas seminari memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk membuat acara-acara yang tujuanya untuk mencari teman seperjalanan.Tiada kata lelah bagi saya khususnya untuk menjalankan karya pewartaan saya.
Liburan selama seminggu di rumah sangatlah membosankan apalagi teman-teman yang lain sedang mengikuti Temu Kolese dan Jambore,tapi bagi saya sebagai anak seminari tidaklah membosankan karena saya tinggal di asrama yang hidup dengan teman-teman yang mengasyikan.Tapi bukan berarti liburan di asrama saya santai-santai saja,masih ada hal yang harus saya dan teman-teman persiapkan yaitu expo panggilan di Cilandak.Oleh karena itulah saya dan komunitas Seminari Wacana Bhakti tidak ada Jambore tahun ini.Mempersiapkan Expo bukanlah hal yang mudah karena banyak hal yang perlu dipersiapkan.Expo panggilan bukan hanya sekedar main musik lalu pulang tapi tujuan utamanya adalah mencari kaum-kaum muda yang mempunyai panggilan,memberikan informasi yang tepat bagi mereka yang belum mengetahui dan memberi kesan yang positif tentang tujuan utama dari Expo Panggilan.
Mempersiapkan Expo tidaklah sebentar seminggu atau dua minggu saja tapi perlu waktu berbulan-bulan.Persiapan dimulai dari pembentukan panitia inti dan anggotanya dan rapat untuk menentukan lagu-lagu yang akan dimainkan.Setelah masalah lagu-lagu selesai dimulailah pembuatan jadwal untuk Latihan Gabungan Orkes.Latihan dilaksanakan setiap hari rabu dan sabtu.Sebenarnya kadang kala saya malas untuk latihan karena latihan pada hari rabu diadakan pulang sekolah tapi demi pelayanan dan mencari kaum-kaum muda rasa malas menjadi hilang.saya bersama komunitas Seminari menyadari bahwa panggilan di Jakarta semakin hari semakin menurun akibat perkembangan jaman yang merasuki tubuh kaum-kaum muda.
Seminggu kemarin saya persiapkan untuk hal-hal teknis,karena kebetulan juga saya coordinator seksi perlengkapan.Sebagai koordinator seksi perlengkapan saya harus mempersiapakan segala sesuatunya agar jangan sampai ada yang tertinggal dan ada barang-barang yang rusak.Barang-barang yang dibawa cukuplah banyak mulai dari panggung sampai sound system yang besar-besar.Intinya sebagai koordinator perlengkapan saya harus menjaga barang-barang agar tidak rusak,karena kalau rusak menjadi tanggung jawab saya.
Hari Senin dalah rapat terakhir dengan panitia dari Cilandak.Rapat diadakan di Cilandak bersama panitia inti dari Seminari dan Panitia inti dari Cilandak.Setelah memperbincangkan banyak dari masalah konsumsi,setting tempat,koor sampai masalah keamanan.Semua dibicaraka dengan teliti dan selalu dilihat kembali agar tidak ada yang terlewat sehingga pada hari berlangsungnya expo tidak ada kendala yang begitu merepotkan masing-masing pihak.
Hari selasa dan rabu saya dan teman-teman gunakan penuh untuk latihan gabungan memantapkan lagu-lagu sebelum gladi resik yang akan dilaksanakan pada hari jumat.Ternyata walaupun sudah sering latihan masih ada saja yang salah,hal itu mungkin dikarenakan kurangnya konsentrasi atau pemanasan sebelum latihan.Perasaan saat latihan saya harus sabar karena ternyata masih ada teman yang belum bisa,atau lupa khususnya pada-pada alat-alat tiup.Rasa sabar harus saya tanamkan karena latihan berjam-jam hanya untuk beberapa alat saja.Di saat-saat inilah kebersamaan dalam panggilan diuji.
Saat-saat liburan ternyata masih ada saja hal yang mengganggu saya bukan karena persiapan expo tapi karena hal lain.Setelah saya renungkan ternyata ada dua hal yang masih mengganggu pikiran saya.Hal yang pertama adalah karena nenek saya,saat saya liburan lebaran saya mendengar kabar bahwa nenek saya sedang sakit,lalu ayah saya mengunjungi nenek saya di kampung halaman,sebenarnya saya ingin ikut tapi liburan saya ternyata tinggal dua hari dan saya harus segera kembali ke asrama.sampai sekarang ayah saya masih di rumah nenek saya dan saya belum mendapatkan kabar yang pasti tentang kesehatan nenek saya.saya hanya berdoa agar kesehatan nenek saya membaik.Nenek saya merupakan motivator untuk saya karena ia yang selalu menyemangati saya menjalani panggilan menuju imamat ini.
Satu hal lagi yang membuat saya sedikit penasaran adalah nilai mid semester saya yang belum saya ketahui.Saya hanya kuatir saja kalau nilai mid semester saya jelek padahal ulangan semester tidak ada remedial.Tapi sebenarnya saya optimistis kalau saya bisa mendapatkan nilai yang bagus.Semoga saja keoptimisan saya ini bisa menjadi sebuah kenyataan.saya optimis bukan tampa alasan,saya optimis karena saya memang sungguh-sungguh belajar.


Hari kamis akhirnya tiba saatnya untuk angkat-angkat barang,pagi hari memang saya gunakan untuk istirahat karena saya tahu akan sampai malam saya setting panggung.akhirnya jam satu siang truk dan mobil box sudah datang sebagai coordinator perlengkapan saya memanggil komunitas untuk segera mengangkat barang-barang yang sudah disiapakan sebelumya untuk dinaikkan ke dalam truk dan mobil box.Jam tiga siang saya bersama dua puluh orang lainya berangkat ke cilandak untuk setting panggung.saya merasa hari kamis adalah hari yang melelahkan dan ternyata itu dirasakan juga oleh teman-teman saya yang lain.
Sesampainya disana saya lansung berganti baju dan mengatur barang-barang diletakkan dimana dan konsep panggungnya seperti apa.Sebelum berangkattpun sebenarnya saya sudah menjelaskan kepada teman-teman tentang konsep yang akan dibuat.Sebenatnya saya sempat kesal karena semestinya pekerjaan bisa selesai 3 jam lebih awal tapi karenamasih ada kegiatan di dalam gereja,semuanya harus diundur.Hal yang membuat saya kesal adalah pihak dari gereja kurang bisa bekerja sama dengan baik,mereka berkata bahwa banyak umat yang memang biasa memakai gereja dengan mendadak.Sekali lagi saya harus sabar dan saya sebagai koordinator harus membuat teman-teman saya sabar menunggu.Akhirnya selesai juga pada jam 9 malam yang semestinya bisa jam 6 malam,tapi yasudahlah saya berkata sekali lagi kalau ini demi pelayanan.
Akhirnya waktunya tiba juga sabtu dan minggu saya bermain,sekali lagi saya berkata bahwa saya harus merubah tujuab mereka yang berpikir bahwa saya dan teman-teman datang hanya untuk bermain musik dan mencari uang saja.padahal tujuan saya yang sebenarnya adala untuk mencari kaum-kaum muda yang tertarik masuk ke seminari.Semua berjalan dengan lancar walaupun memang ada sedikit gangguan-gangguan kecil,untuk menambah ketertarikan mereka terhadap seminari saya bersama beberapa teman mengadakan pertemuan dengan para misdinar Cilandak.Akhirnya semua selesai pada hari minggu jam 9 malam dan kami semua harus kembali ke asrama karena besok sekolalh dan harus merapikan barang-barang.
Banyak pengalaman yang saya dapatkan dari expo di Cilandak ,dan expo di Cilandak menambah kesadaran saya bahwa ternyata tidak semua orang bisa menerima kami dengan baik.Ada dua pengalaman yang menurut saya mengambarkan bagaimana umat di Jakarta kurang peduli dengan para calon Imam dan para umat di Jakarta tidak tahu bahwa ada tempat untuk mendidik para calon Imam.
Pengalaman pertama saya dapatkan saat saya sedang mengatur stand untuk dekorasi,saat sedang meletakkan brosur seminari tiba-tiba ada dua orang ibu-ibu yang datang keapda saya dan lalu ia bertanya darimana saya datang.setelah saya menjelaskan dengan ckup panjang dan dua orang ibu itu mengajukan pertanyaan akhirnya kedua orang ibu itu menegrti juga apa itu seminari.Tapi yang membuat saya kaget adalah saat dia melihat alamat seminari di brosur yang dia pegang,dia mengatakan bahwa ternyata seminari tidak jauh dari rumahnya yang sama-sama di Pejaten barat yang sudah lama ia tinggali bertahun-tahun.Halitu mebuat saya tersenyum ternyata masiha da orang katolik yang tidak mengerti apa itu seminari dan tidak menyadari keberadaanya padahal dekat sekali dengan rumahnya.
Pengalaman yang kedua saya dapatkan setelah selesai misa,saat saya sedang ke toilet saya mendengar ada ocehan dari seorang umat bahwa misanya terlalu panjang dan lama padahal ia masih mau jalan-jalan.Ia juga mengatakan bahwa ini misa yang terlama padahal hanya dua jam saja.Dari situ yang bisa saya ambil bahwa tidak semua orang bisa menerima kehadiran kami dalam masyarakat.
Dari pengalaman-pengalaman yang saya dapatkan saelama liburan semakin menegaskan saya bahwa menjalani panggilan itu tidak mudah,saya harus mempunyai kesabaran dan ketekunan.karena kalau tidak mepunyai kesabaran saya akan mudah mendapatkan kebosanan saat kebosanan itu datang di saat itulah panggilan di pertanyakan.Dari pengalaman-pengalaman diatas saya juga sadar bahwa idak semua orang peduli dengan keberadaan para calon imam tapi saya percaya bahwa mereka suatu saat nanti membutuhkan kami dan inilah salah satu cobaan pelayanan yang sedang saya alami.Memang butuh pengorbanan untuk mencari teman seperjalanan.

Masih ada berjuta-juta daun harapan lain yang masih dapat kita pungut.di depan sana masihterhampar berjuta daun impian lain yang memberikan kita beragam pilihan.Mungkin jalan di depan kita masih berkelok,tapi dengan kesabaran dan ketekunan kita bisa melewati jalan yang berkelok dan menemukan sebuah keajaiban.


Yohanes Eko Wicaksono/XIS3/34

DaNCE Virginti


Selasa, 03 Maret 2009

Santo Pedro Armengol

SAN PEDRO ARMENGOL Festividad: 27 de Abril
Nació en Tartagona, España. Miembro de la familia catalana de los condes de Urgel.De joven llevó una vida desordenada, incluso perteneció a una banda de asaltantes.Su vida sufrió un giró radical cuando en un asalto tuvo que enfrentarse a su padre, enviado por el rey Don Jaime para limpiar de bandidos la ruta de Valencia a Montpellier.Arrepentido y a fin de expiar sus errores ingresa a la Orden Mercedaria, la cual ofrecía a sus monjes como rehenes a cambio de prisioneros seglares, capturados por los moros. Esta misión la llevó a cabo varias veces; sin embargo, en una ocasión no llegó a tiempo el dinero exigido para su liberación, por lo cual se le sentenció a morir en la horca.En el momento de su ejecución invocó el amparo de la Virgen María, por lo que pasó colgado varios días, hasta que llegó un fraile con el monto de su rescate. A partir de este hecho su cuello quedó torcido.Vivió las últimas cuatro décadas de su vida retirado en el convento de Santa María dels Prats, dedicado a la penitencia y oración. Finalmente murió a edad muy avanzada en Barcelona, el año 1304.


Lahir di Tartagona, Spanyol. Anggota dari keluarga yang Katalan Hitungan dari Urgel. Sebagai seorang anak muda yang dipimpin berantakan hidup, bahkan milik sebuah gang yang robbers. Hidupnya mengalami radikal berbalik dalam sebuah serangan ketika dia harus menghadapi ayahnya, raja dikirim Don Jaime bandit untuk menghapus rute dari Valencia ke Montpellier. Untuk bertaubat dan untuk menebus kesalahan mereka mengakui ke Urutan Mercedario, yang ditawarkan para rahib sebagai hostages dalam pertukaran tahanan untuk meletakkan, diambil oleh Moors. Misi ini dilakukan beberapa kali, namun pada satu kesempatan tidak datang tepat waktu untuk menuntut uang mereka lepaskan, yang dia dihukum mati oleh gantung. Pada saat pelaksanaan invoked perlindungan dari Virgin Maria hung untuk apa yang terjadi beberapa hari, hingga rahib datang ke jumlah uang tebusan. Dari fakta ini adalah twisted lehernya. Dia tinggal empat dekade terakhir orang pensiunan hidup di biara Santa Maria dels Prats, dikhususkan untuk doa dan pertapaan. Akhirnya yang sangat lama meninggal di Barcelona, tahun 1304.

Photo di Jurnal















Profile

NAMA :Hendry Limandry
PANGILLAN :Iman,Hendry
TTL : Bandung,7 Oktober 1989
Paroki : Katedral Bandung

Hobi :Membuat Lagu
Cita-Cita :

Tentang Iman:

Profile

NAMA :Albertus Monang Rianto Sidabutar
PANGILLAN :Almo,Batax,Albert
TTL : Jakarta,14 Agustus 1991

Paroki:Santo Arnoldus Bekasi
Hobi :Membaca dan Menulis
Cita-Cita :


Tentang Almo:

Riwayat Panggilan

Sejarah Panggilan
Sebagai bahan untuk retret kelas 2

Biodata

Nama : Joseph Biondi Mattovano
Tempat/Tanggal Lahir : Surakarta, 23 Januari 1991
Alamat : Jl. Sulawesi VI Blok A3 No.18 Sektor XIV Nusa Loka BSD City
Asal Paroki : Santa Monika, BSD City


Saya, Joseph Biondi Mattovano, anak sulung dari pasangan Yosef Tr Setyo Pribadi dengan Scholastika Indiyah Retno Cahyani Kumalasari. Saya adalah anak sulung laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Kalau saya ditanya mengapa ingin menjadi seorang imam? Secara spontan saya akan menjawab bahwa keinginan itu mulai muncul ketika saya menjadi anggota Putra Altar di Paroki Santa Monika, BSD. Saya menjadi anggota putara altar ketika saya duduk di kelas 4 SD. Sebagai anggota, saya termasuk anggota yang paling rajin untuk bertugas dan menggantikan mereka yang berhalangan tugas. Setiap minggu dan hampir setiap misa saya bertugas menjadi putra altar. Karena saya rajin bertugas dan hampir tidak pernah alfa untuk menjadi putra altar, maka dalam misa besar seperti natal atau paskah, para pengurus selalu memasukkan nama saya ke dalam daftar tugas misa besar. Entah kenapa, setiap kali saya bertugas menjadi putra altar selalu terlintas dalam pikiran saya keinginan untuk menjadi seorang pastur. Melihat sosok seorang pastur Ordo Sancta Crucis(OSC) atau lebih dikenal dengan Ordo Salib Suci yang sangat bijaksana, dihormati dan pandai berbicara ketika berkhotbah, maka ketertarikan dan keinginan saya ini semakin hari semakin kuat dalam diri saya
Sampai pada akhirnya, saya mengungkapkan keinginan ini kepada kedua orang tua saya. Syukurlah, kedua orang tua saya sangat mendukung dan selalu mendoakan anaknya. Pada penghujung tahun kelas 3 SMP, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri masuk seminari. Beberapa seminari seperti, Seminari Menengah Mertoyudan, Seminari Stella Maris Bogor, dan Seminari Menengah Wacana Bhakti menjadi pertimbangan saya. Kedua orang tua sayapun memberikan pilihan kepada saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendaftar dan mengikuti tes gelombang I di Seminari Wacana Bhakti. Saat itu, semua teman saya telah mendaftar dan mengikuti tes di SMA-SMA pilihannya. Tetapi, saya hanya memutuskan untuk mendaftar dan mengikuti tes Seminari, tidak ada SMA lain yang saya pilih. Semua ini berkat niat dan keyakinan saya bahwa jika ini memang kehendak Tuhan, maka saya pasti diterima masuk seminari. Ternyata, Tuhan sungguh mendengar dan menjawab doa saya. Sebuah surat pernyataan yang menuliskan bahwa saya diterima di seminari membaut perasaan saya penuh dengan kegembiraan
Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di seminari, muncul perasaan cemas dan sedikit grogi dalam hati saya. Perasaan ini yang membuat saya bertanya-tanya, “Seperti apa ya hidup berasrama di seminari yang notabene laki-laki semua?” Jujur, ini menjadi pengalaman pertama saya hidup berasrama. Kini saya mempunyai rumah yang baru dan keluarga yang baru, tentunya saya juga memiliki nama panggilan yang baru. Nama panggilan yang baru itu adalah Vano. Memasuki masa KPP, pergulatan yang saya alami adalah pergulatan yang seperti biasa dialami seorang anak yang baru pergi meninggalkan orang tuanya yaitu rasa rindu pada orang tua. Selain itu, masa KPP ini menjadi masa dimana saya juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan teman yang baru.
Setelah melewati masa KPP, saya harus memasuki masa yang baru di seminari, yaitu suatu masa dimana saya mempunyai komunitas yang baru lagi, yaitu SMA Gonzaga. Dalam komunitas yang baru ini saya juga harus beradaptasi supaya akhirnya saya menjadi bangga sebagai seorang seminaris. Bersyukurlah saya karena pada masa kelas 1 SMA ini saya tidak memiliki hambatan yang berarti dalam hal studi. Relasi dengan siswa-siswi SMA Gonzaga sudah mulai saya bangun, sehingga saya belajar banyak hal dari mereka dan merekapun juga belajar banyak hal dari kami, para seminaris. Ada hubungan timbal balik antara saya dengan teman-teman Gonzaga.
Setelah masa kelas 1 ini berakhir, angkatan kami yang berjumlah 10 orang saat itu masuk kelas 2. Angkatan kami ang berjumlah sepuluh orang dipecah menjadi 6 orang di kelas IPS dan 4 orang di Kelas IPA. Situasi angkatanpun menjadi berubah drastis ketika sudah dipecah. Kami saling berbagi cerita dan bertukar pikiran dalam angkatan. Pemisahan jurusan ternyata tidak mencerai beraikan tetapi malah saling menyatukan dan melengkapi.
Kelas 2 ini memang menjadi masa yang sibuk atau bisa dikatakan kelas 2 adalah tulang punggung seminari, karena kami harus terlibat dalam berbagai kepanitiaaan inti. Kepanitiaan ini memang cukup menyita waktu kami, tetapi bagaimanapun juga kami harus pintar-pintar me’manage’ waktu dengan sebaik-baiknya. Karena keterlibatan kami ini, maka tidak menutup kemungkinan terjadi hubungan antara kami, panitia inti dengan para staff/pamanog. Pergulatan yang sering kali kami hadapi adalah munculnya suatu ketidak cocokkan antara pemikiran kami dengan staff. Mungkin apa yang dipikirkan oleh staff itu baik adanya tetapi dalam penyampaiannya sepertinya kurang dapat diterima oleh komunitas. Dari ketidakcocokkan ini, sebenarnya saya melihat mulai ada kerenggangan hubungan kami dengan staff.
Sepertinya saya pribadi juga merasa sedikit demi sedikit kehilangan figur seorang pendamping atau pamong pada masa kelas 2 ini. Untunglah, saya masih memiliki figure seorang pembimbing rohani yang baik dan mampu memberikan banyak ‘input’ kepada saya, yaitu romo rektor sendiri. Di tengah perjalanan kelas 2 ini, kami harus ditinggalkan oleh salah seorang anggota angkatan karena saya melihat kalau angkatan kami sepertinya juga kehilangan figure seorang pamong itu sendiri.


Riwayat Panggilan

Riwayat panggilan

Sebenarnya tujuan utama saya adalah untuk menjadi seorang pastur tampa itu saya tidak akan masuk seminari.Jujur untuk menjadi seorang Imam adalah keinginan saya sendiri tampa paksaan dari siapa pun dan dari Pihak manapun.peristiwa yang membuat Saya Masuk seminari adalah pada saat saya mengikuti Misa disitu Seorang Pastur berceramah bagaimana di Jakarta sekarang kekurangan imam entah mengapa Saya menjadi tertarik dan ingin menjadi Seorang Imam.Sebenarnya sejak SD kelas 4 Saya sudah tertarik untuk menjadi Seorang Imam ditambah lagi saya mendengar cerita tentang Imam dari Paman Saya yang Kebetulan Seorang Imam.Tokoh kudus yang Saya Idolakan adalah Santo pelindung Saya sendiri yaitu Yohanes Pembabtis Karena Dia yang menyiapkan jalan bagi Yesus dan membabtis orang berdosa juga membabtis Yesus karena dialah panggilan Saya menjadi berkembang.
Tanggapan keluarga tentang Keputusan Saya ini sangat menggembirakan Mereka mendukung saya dengan sepenuh Hati.Banyak hal yan dilakukan keluarga saya demi mendukung panggilan saya ini dengan cara sebelum Saya masuk Seminari Orang Tua Saya mencari tau tentang Seminari dan setelah saya masuk san orang Tua saya juga menanyakan keadaan saya di seminari dan Mendengarkan cerita saya Tentang Seminari,Orang Tua saya juga memberikan masukan supaya saya dapat menjalani panggilan saya ini dengan mudah mereka juga berpesan supaya saya jangan cepat putus asa.
Untuk merngembangkan panggillan saya keluarga saya mencoba untuk menyuruh saya aktif dalam lingkungan dan juga pada misa mingguan.Banyak nilai yang saya dapatkan dari keluarga saya yang membesarkan Saya Seperti Nilai tanggung jawab dan kemandiriian.
Teman dekat di di angkatan untuk bertukar pikiran atau berbagi pastilah ada tapi masih masalah yang kecil saja dan belum begitu terlalu banyak karena saya belum tau bagaimana sifat mereka yang asli kerena baru 4 bulan mungkin kalau sudah lebih sudah mulai berani untuk masalah yang lebih lagi.
Ketidakcocokkkan pastilah ada karena saya belum mengenal benar sifat asli mereka dan kadang-kadang sering terjadi perbedaan pendapat tapi saya memaklumi semua itu.Usaha untuk memahami Dia tentu ada karena kita tinggal bersama setiap harri bertemu jadi sedikit-sedikit harus saling mengerti.
Sebagai seorang pemuda yang normal pasti akan ada rasa saling suka dan saling sayang antar lawan jenis itu semua wajar dan pasti di alami.Saya mengakui sebagai seorang yang normal saya mengalami masa yang namanya pacaran.Saya merasa pacar adalah tempat curhat bila saya mempunyai masalah dan mungkin dia memberikan solusi begitu juga sebaliknya saya.Pada saat saya menuliskan ini semua saya sudah tidak mempunyai pacar di karenakan saya ingin serius dengan panggillan saya,saya tidak ingin usaha saya gagal dikarenakan oleh perempuan.
Peran teman-teman lama saya sangat mendukung khususnya peran teman sekolah saya waktu SMP mereka semua mendukung penuh tujuan saya walau masih ada yang tidak percaya kalau saya bisa masuk seminari tapi mereka pun akhirnya percaya kalau saya masuk seminari dan mereka mendukung saya.
Sebenarnya kegiatan seminari semuanya berat tapi saya sadar kalau itu semua untuk kemajuan saya.mungkin hal yang paling berat pertama kali bagi saya adalah Misa harian mungkin pertama kali seminggu sampai 2 minggu terasa sangat berat tapi setelah dijalani dan menjadi kebiasaan semuanya itu berjalan baik dan terasa tidak berat lagi.sekarang semua menjadi sebuah hal yang menarik buat saya.
Hal yang membuat saya kuatir untuk sampai saat ini adalah pada pelajaranya saya merasa kurang karena bekal di SMP kurang tapi hal itu membuat saya semakin giat belajar karena saya tidak ingin panggillan saya hilang,Di kelas dua saya bersyukur saya bisa bersaing dengan teman-teman saya dari Gonzaga dan saya juga bersyukur saya unggul dalam beberapa pelajaran.Kalau soal teman putri adalah hal wajar karena setiap pemuda pasti apalgi seumuran saya ini sedang saatnya jatuh cinta tapi saya harus tau diri saya adalah seorang calon imam jadi tidak boleh pacaran tapi mungkin kalau hanya teman dekat untuk curhat masih boleh.

Hidup Rohani saya sebelum masuk seminari bisa dibilang buruk karena saya jarang sekali mengikuti misa dan tidak begitu aktif di dalam lingkungan.ketidak aktifan saya di dalam gereja berkurang terutama setelah saya tidak mempunyai gereja lagi.Orang tua saya sering mengajak saya untuk ke gereja tapi dengan berbagai alasan saya menolak.
kegiatan Rohani saya sangat berkembang di seminari untuk mengembangkan panggillan saya salah satu yang mendukung saya adalah misa harian dan Bacaan rohani saya sangat merasa berkembang di Seminari.
Sekarang saya sudah kelas 2 atau bisa dibilang saatnya saya untuk memantapkan niat saya,kalau bisa dibilang saya sebenarnya sudah mantap untuk menjadi seorang Imam.saya juga sudah menentukan pilihan kemana saya akan melanjutkan,niat saya sebenarnya saya ingin melanjutkan ke Diosesan Jakarta.Hal yang membuat saya ingin melanjutkan ke Diosesan Jakarta adalah karena saya dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta dan karena Jakarta adalah kota dengan banyak problem yang berbeda di setiap waktunya sehingga saya ingin berjuang di kota Jakarta.

Yohanes Eko Wicaksono
ENO

Senin, 02 Maret 2009

Refleksi Live-in

Realitas Dalam satu Penglihatan
Live In Panti Asuhan Desa Putera


Pada tanggal 9 - 13 Februari 2009, aku, Edu dan Almo melangkahkan kaki dalam misi pembelajaran diri di bumi Panti Asuhan Desa Putera. Anak-anak yag tinggal disana berjumlah 77 orang, mulai dari tingkat SD, SMP dan STM. Panti Asuhan Desa Putera membagi komunitasnya menjadi empat bagian, yaitu komunitas Jeruk, Arjuna, Krisna dan Bima.
Komunitas Jeruk merupakan komunitas tingkat SD kelas 1-3. Komunitas Arjuna merupakan komunitas tingkat SD kelas 4-6. Komunitas Krisna merupakan komunitas tingkat SMP. Dan komunitas Bima merupakan komunitas tingkat STM.
Selama empat hari tiga malam, kami bergabung bersama dengan komunitas Krisna. Mereka berjumlah 26 orang, Disana, kami diberikan sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter. Saya melihat rutinitas hidup mereka, antara lain;

Pk 05.50 Bangun, mandi
Pk 05.30 Sarapan
Pk 06.30 Sekolah
Pk 12.30 Makan siang
Pk 13.00 Tidur siang
Pk 15.00 Bebas/ bersih-bersih/ lat. Koor
Pk 17.00 Mandi
Pk 18.00 Makan malam
Pk19.00 Belajar
Pk 20.30 Doa malam, tidur

Selama itu aku mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas hidup, serta interaksi sosial dalam lingkungan hidup yang komunal. Misalnya, ketika mereka sekolah, kami menyetrika baju-baju komunitas Jeruk dan Arjuna hingga makan siang. Selanjutnya, kami mencoba membaur bersama mereka.
Dari proses integrasi, aku pun dapat melihat situasi dan kondisi yang mereka alami. Sungguh, tidak jauh berbeda dengan kami, para seminaris. Bedanya, mereka masih terbilang cukup bebas dengan keadaan yang mereka jalani, sedangkan kami mengalami proses formatio yang terikat sebagai calon imam yang mandiri.
Jumlah anak-anak panti asuhan ini didominasi oleh anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Meski demikian ada juga dari mereka yang berada disana karena ditinggal oleh kedua orangtuanya.


Seorang Teman Baru

Aku mengenal seorang teman, namanya Febi. Saat ini dia tengah duduk di bangku kelas 3 SMP. Dan nanti pun dia akan meneruskan tingkat pendidikannya di STM. Hmm, bagiku, rata-rata seluruh anak-anak Panti Asuhan Desa Putera telah terdoktrinasi dengan spekulasi masa depan yang linear. SD – SMP – STM - kemudian dicarikan kerja oleh para pengasuh mereka. Tidak satupun lahir suatu idealisme pemikiran untuk menggapai pendidikan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mungkin ada, tapi tidak tahu bagaimana cara merealisasikannya.
Berlanjut pada Febi, ia mulai bergabung bersama anak-anak panti lainnya semenjak ia duduk di bangku kelas 1 SD. Sebelumnya, ia masih tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Namun suatu kecelakaan dalam sebuah perjalanan telah merenggut nyawa kedua orang tuanya, hingga akhirnya tidak ada lagi saudaranya yang lain yang dapat mengasuhnya. Maka Panti Asuhan Desa Putera menjadi alpha dan omega perjalanan hidupnya...
Syukurlah dengan realitas sosial Panti Asuhan yang cukup keras, Febi dapat tumbuh menjadi seorang anak yang baik dan dewasa diantara anak-anak seusianya. Selain itu, prestasi akademiknya pun melebihi anak-anak yang lain. "He has inner strange". Sayang bagiku, apabila bakat dan talenta yang dimilikinya tidak dapat dikristalisasikan seluas-luasnya di dunia luar yang sarat akan kebebasan.

Melihat Lebih Dalam

Apa yang telah terprediksi sebelumnya dalam kacamataku megenai kehidupan di sebuah panti asuhan sungguhlah berbeda dengan apa yang kulihat setelah kujalani kehidupanku bersama mereka. Setidaknya paradigma ini muncul ketika aku mulai menapaki dan menemukan bukti-bukti tertulis di dalam kamar mandi. Ada yang beragai macam tulisan kasar dan penuh amarah. Siapapun yang melihatnya tentu akan mendalami kata-kata tersebut penuh arti, contohnya, disana terlihat kata-kata seperti, “ Keluarkan aku dari penjara ini!”. Dari kata-kata tersebut, aku mulai tahu bagaimana kebebasan mereka tidak dapat diekspresikan melalui media dan sarana yang menunjang kualitas hidup mereka. Oleh sebab itulah, disini pun terjadi berbagai bentuk penyimpangan perilaku, ada yang keluar tanpa ijin, merokok, membawa barang-barang elektronik yang seharusnya tidak diperbolehkan dan membawa minum-minuman keras dari luar untuk dikonsumsi bersama dengan orang dalam.
Bagiku, seharusnya penyimpangan ini tidak perlu terjadi apabila petinggi maupun para pengasuh Panti Asuhan Desa Putera melakukan suatu inovasi, baik sistem maupun formasi. Serta rutinitas yang kurang bervariasi pun juga turut ambil bagian atas terjadinya penyimpangan tersebut. Toh anak-anak tersebut mengakui bahwa penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan diawali dari suatu kebosanan. Dengan kata lain, apa yang mereka lakukan semata-mata hanya untuk menghilangkan kepenatan atas rutinitas yang seolah-olah membawa mereka pada perjalanan hidup yang tanpa arah.

Sisi lain

Belakangan aku tahu bahwa disana ada kakak beradik yang berasal dari latar belakang keluarga mampu. Yang tertua berada di kelas tiga SMP, kedua duduk di kelas lima SD dan yang terakhir masih duduk di kelas dua SD. Orang tua mereka menitipkan mereka di panti asuhan hingga lulus SMP.
Bisnis, mungkin itu yang dapat kusimpulkan. Untuk sebuah bisnis, mereka lepas tangan atas pendidikan anak-anaknya. Semua dilakukan sebagai ganti pembiayaan pendidikan dari SD hingga SMP untuk SMA dan seterusnya.
Kontradiktif, setidaknya bagiku. Ya, ternyata masih ada orang tua yang lepas tangan atas pendidikan anak-anak mereka. Padahal, begitu pentingnya peran orang tua akan perkembangan anak-anak mereka. Ketika seorang anak lahir, membuka mata, dan ingin terjun dalam situasi dunia, tapi mereka tidak tahu apa yang ada di balik tembok panti asuhan itu. Tidak adil, tapi mereka dipaksa untuk menerima kenyataan yang ada. Jadilah mereka tinggal di panti asuhan sebagai suatu bentuk pengorbanan.
Lalu dimanakah letak tanggung jawab orang tua? Aku pun teringat sepenggal kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada setiap anak yang minta dilahirkan, mereka harus lahir karena konsekuensi yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka, tapi Tuhan masih berbelas kasih terhadap mereka yang mau merawatnya. Maka berbahagialah anak yang dipelihara orang tuanya dengan semestinya.


Benedictus Donny Gotawa

Refleksi Live-in

SEBAB MASA DEPAN BUKANLAH HADIAH

Suasana Baru Suasana Sanggar Rebung

Sungguh di luar dugaan bahwa saya harus live – in di Sanggar Rebung. Sanggar Rebung merupakan tempat baru yang didatangi untuk acara live – in seminari Wacana Bhakti. Sebelum – sebelumnya belum pernah ada seminaris yang kesana. Saya pribadi agak kaget saat mendengar kata Sanggar Rebung. Saya akan sedikit menggambarkan suasana Sanggar Rebung. Sanggar Rebung adalah sebuah yayasan yang dirintis oleh mas Budi bersama Romo Wisnumurti SJ. Sanggar Rebung sendiri berada si wilayah Depok. Kalau dihitung dengan waktu, ya sekitar dua jam untuk sampai disana kalau berangkat dari seminari.
Perjalanan yang cukup menyenangkan saat saya menuju ke Sanggar Rebung. Dalam pikiran saya, saya belum memiliki gambaran sama sekali dengan suasana dan kondisi Sanggar Rebung sendiri. Tidak ada suatu pengalaman pun yang saya dengar sebelumnya. Sehingga saya ibaratnya buta dengan keadaan Sanggar Rebung sendiri.
Tetapi setelah saya sampai disana, suasana yang terbayang dalam pikiran saya selama perjalanan berubah seratus delapan puluh derajat. Suasana yang cukup menyegarkan menyambut kedatangan kami bertiga (saya, Hena, dan Vano). Suasana seperti di pedesaan yang kami alami. Saya pribadi merasa senang karena saya bisa live – in sekaligus berlibur menikmati indahnya alam pedesaan. Udara yang masih segar dan sungai Ciliwung yang mengalir deras menjadi subyek yang menyegarkan pikiran dan kepenatan saya selama ini.
Di sekitar Sanggar Rebung masyarakat masih menganganut sistem masyarakat tradisional. Masyarakat yang masih belum maju dalam segala aspek. Masyarakat yang hanya hidup oleh dorongan biologis atau dengan kata lain hanya memikirkan masalah perut. Mereka tidak memikirkan aspek – aspek kehidupan yang lainnya. Misalnya pendidikan, pekerjaan, ataupun kehidupan sosial lainnya. Masyarakat disana bahkan menjadi basis dari FBI dan FBR yang menganut aliran Islam garis keras.
Saat saya berada disana, rumah yang persisi berada di depan Sanggar Rebung berduka, pasalnya keluargannya menjadi korban pembunuhan di daerah Bekasi. Ya, apalagi kalau bukan masalah perut yang menjadi pemicunya. Saya menjadi ngeri sendiri juga. Tetapi hal ini menjadi pengalaman yang menarik untuk saya pribadi.
Kelebihan masyarakat di sana adalah hubungan antara anggota keluarga ataupun antar sesama warga yang sangat kuat. Mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya. Ini yang menjadi keunggulan dari desa Kebon Duren ini. Ini terlihat dari kasus pembunuhan yang terjadi disana. Semua warga berbondong – bondong datang untuk membantu segala sesuatu yang diperlukan.
Mungkin inilah gambaran mengenai situasi dan kondisi dari Sanggar Rebung sendiri, sanggar yang berada di tengah pedesaan ini. Sanggar yang menyediakan tempat sebagai taman bacaan, tempat belajar kelompok, tempat mengeksplor diri, tempat memerdekakan diri bagi anak – anak ditengah desa Kebon Duren, Depok, yang secara kebutuhan jasmani dan rohani belum tercukupi dengan baik.

Kisah nyata dari roman laskar pelangi

Setelah dua hari saya berada di Sanggar Rebung, saya merasakan seperti film laskar pelangi. Film yang memotivasi saya untuk terus mempunyai cita – cita. Salah satu yang menjadi film favorit saya. Saya tidak menyangka bahwa saya akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dikisahkan dalam film Laskar Pelangi.
Anak yang pertama saya kenal disana bernama Aldo, anak yang pertama kali datang ke Sanggar. Seorang anak yang baru berusia delapan tahun dan sekarang duduk di kelas dua sekolah dasar. Aldo merupakan seorang anak dari seorang preman di dareah Kebon Duren, kampung dimana Sanggar Rebung berada. Aldo bisa dibilang anak yang kurang beruntung. Kata fasilitas, kenyamanan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian sangat jauh dari diri Aldo. Padahal anak seusia Aldo seharusnya mendapatkan semua aspek tersebut secara terpenuhi. Barbeda sekali dengan kehidupan anak perkotaan zaman sekarang. Dari kecil mereka ditanamkan untuk bersikap individualistis.
Walaupun Aldo sangat kekurangan alam hal jasmani maupun rohani, tetapi Aldo memiliki sikap yang sungguh diluar dugaan saya. Aldo membuka pendangan saya tentang palayanan kepada orang lain. Aldo menjadi salah satu pengajar di Sanggar Rebung. Walaupun Aldo hanya mengajar membaca untuk anak TK, tetapi ia dengan tulus mengajarkan kemampuannya kepada adik – adiknya di Sanggar. Sepertinya Aldo dianggap menjadi pemimpin atau ketua kelas di Sanggar oleh teman – temannya karena pelayanan yang ia berikan.
Sikap Aldo inilah yang membuka pandangan saya. bahwa suatu pelayanan dapat diberikan dari kekurangan yang kita punya. Tuhan sendiri berkata lebih baik memberi dari kekurangan dari pada memberi dari kelebihan. Sekarang apakah saya mampu memberikan sesuatu pelayanan dari kekurangan saya? Apakah saya mau memberikan kepada orang lain tanpa ingin menyombongkan diri?

Kisahnya tidak berhenti pada pribadi Aldo, pribadi yang sungguh luar biasa juga saya temukan dalam diri anak bernama Kiki. Kiki adalah salah satu anak yang tinggal di sekitar Sanggar. Kiki merupakan korban broken home. Sama seperti Aldo, kata fasilitas, kenyamanan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian sangat jauh juga dari diri Kiki. Tetapi Kiki juga mengubah pandangan saya seratus delapan puluh derajat tentang arti kata mimpi.
Kiki baru duduk di kelas empat sekalah dasar, tatapi ketertarikannya pada dunia binatang atau hewan sangatlah mengesankan. Kiki sangat tertarik dengan dunia dinosaurus. Semua buku – buku disanggar sudah ia baca seluruhnya, apalagi yang berhubungan dengan dunia dinosaurus. Ketika bermain tebak – tebakan dengannya pun selalu berhubungan dengan dunia dinosaurus.
Saya termasuk salah satu yang sangat dekat dengan pribadi Kiki. Saya pun yang mengajari dia bahasa Inggris, mengajari dia tentang dunia hewan, dan mengajari dia tentang bagaimana kehidupan lain diluar kehidupannya. Selama 4 hari itulah kami ditemani oleh Kiki. Kiki istilahnya menjadi pemandu kami.
Saat saya iseng – iseng menanyakan cita – cita Kiki, saya sungguh kaget bercampur bangga. Kiki ternyata mempunyai cita – cita menjadi dokter hewan atau menjadi arkeolog. Sungguh tinggi cita – cita yang ingin dia raih. Walaupun dari segala kekurangannya, Kiki belajar dengan kansisten dan dengan komitmen yang teguh untuk mencapai cita – citanya tersebut. dengan membaca buku dan melihat informasi dari internet. Karena ia sendiri menyadari bahwa keluaranya tidak sepenuhnya mendukung. Tetapi perjuanggan dan keberaniannya itulah yang menjadi motivasi untuk saya.
Pribadi Kiki tersebut menjadi salah satu motivasi saya dalam meraih cita – cita sebagai seorang imam. Konsisten dan komitmen adalah kunci dari segala usaha yang kita perjuangkan. Tetapi tetap saja segala kehendak ada di tangan Tuhan sendiri. Karena Tuhanlah yang bekerja dalam diriku.

Kesunyian yang Abadi

Dalam kasempatan live – in kemarin saya juga sempat berada di makam selama dua hari. Saya membantu ibu – ibu yang berjualan kembang di TPU Kalimulya I. Saat pertama saya kesana, saya cukup takut dengan suasana makam yang begitu sunyi. Bahkan saya tidak berani untuk jalan sendiri. tetapi saya menemukan sesuatu yang sungguh luar biasa.
Pengalaman melihat dua kali penguburan menjadikan diri saya sepertinya terbiasa dengan pemandangan pengangkatan jenazah. Bahkan saya sempat masuk dalam salah satu acara di TPI. Karena disana sedang ada shooting program TPI. Makam yang begitu sunyi membuat saya menjadi semakin terlelap dalan suasana yang nyaman. Disana saya mendengarkan percakapan – percakapan dari penggali kubur dan ibu – ibu penjual kembang. Kegiatan ini saya lakukan dari pagi hari sampai dengan sore hari.
Kesunyian yang benar – benar saya rasakan membuat diri saya menjadi lebih tenang. Suansana yang sungguh cocok untuk berrefleksi tentang diri. Saya mencoba mengenal pribadi saya sendiri. Ternyata saya dapat lebih dekat dengan Tuhan dikala saya depat mengenal diri saya sendiri, dimana saya menyadari situasi dan posisi batin saya, sehingga pada akhirnya dapat bersatu dan berjalan bersama Tuhan dalam panggilan ini.

Baju Membawa Keberuntungan

Hari terakhir di Sanggar, saya bertiga pergi ke depan untuk mencari sarapan. Saat kami tengah sarapan tiba – tiba datang seorang bapak – bapak yang juga sedang mencari sarapan. Dari gerak geriknya saya membatin sesuatu, sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Tetapi saya tidak menyadarinya. Kami tengah makan, kemudian bapak itu juga mulai memakan nasi uduknya. Tidak tau kenapa dia menawarkan makan pada kami bertiga. Sambil makan dia bertanya, kalian dari Ignatius mana? Ia melihat tulisan Ignatius di baju Hena. Saya otomatis langsung tahu kalau bapak ini seorang katolik. Kami bilang saja kami sedang live – in. Lalu ngobrol tentang paroki – paroki di keuskupan Bogor. Obrolan kami tidak begitu lama, dan akhirnya kami dibayari untuk sarapan pagi itu.
Saya melihat sesuatu pengalaman yang sungguh luar biasa. Menurut saya memang penampilan seorang katolik dapat dengan mudah untuk ditebak. Mungkin ini menjadi ciri khas yang menentukan identitas seorang katolik. Mungkin cinta kasih tuhan memang sungguh nyata dalam diri seseorang katolik yang sejati.


Andreas Subekti
Seminari Menengah Wacana Bhakti

Refleksi Live-in

Refleksi Live in
Sanggar Akar
OLEH: HENDRY LIMANDRY


Betapa beruntungnya aku ini. Sebagai seorang anak muda Jakarta yang tak pernah lepas dari kenyamanan, kemewahan, kesibukan, dan berbagai tuntutan lainnya, aku mendapat kesempatan untuk melihat sisi kehidupan dari sudut yang berbeda. Sejenak aku meninggalkan rutinitasku, mencoba membuka mata hati lebih lebar lagi untuk melihat hal yang mungkin tak pernah aku sadari.
Jakarta memang terkenal akan gedung – gedung mewah, namun jangan lupa bahwa sesungguhnya rumah – rumah kumuh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah gedung – gedung dan bangunan mewah. Jakarta terkenal akan orang – orang sukses dan berpendidikan tinggi, tetapi jangan salah duga bahwa lebih banyak orang – orang yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari, apalagi untuk memenuhi tuntutan pendidikan yang jumlah nominalnya bisa menarik urat nadi mereka yang kurang mampu.
Aku adalah salah seorang siswa seminari. Ada 9 orang siswa seminari yang mengikuti program live in. Kami dibagi menjadi 3 kelompok dengan pembagian tempat yang berbeda – beda. Medan utama kami adalah mengenal kehidupan di kota besar ini, Kota Jakarta. Aku mendapat “jatah” untuk mengamati kehidupan di sebuah sanggar. Sanggar, tempat anak – anak jalanan mengolah dan mengisi waktu hidup mereka. Sanggar akar namanya. Namanya memang sudah tak asing lagi di seputar pendengaranku, namun masih asing di pikiran dan pengalamanku. Aku mencoba menerka – nerka bagaimana suasana dan rupa dari Sanggar Akar tersebut. Ada berbagai rasa juga di dalam hati, senang, berharap bisa berbagi dengan mereka, semangat akan tantangan yang akan dihadapi, ragu – ragu, penasaran, takut, dan lain- lain. Aku pun berpikir di dalam hatiku, apakah mereka bisa menerima aku, ataukah mungkin mereka akan bingung melihat kami, terutama pribadiku sendiri. Aku sering bertanya – tanya juga, aku memang lahir dari keluarga yang mampu. Di seminari, memang tak semua seminaris berasal dari keluarga yang mampu. Namun mereka sering berpikiran negatif tentang aku. Entah pamongku atau pun teman – temanku. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Memang aku punya beberapa baju bagus, tetapi itu dari orang tuaku, aku tak pernah meminta kepada orangtuaku sendiri. Pendapat ini yang selalu ku pegang, aku ingin menjadi aku yang apa adanya. Aku tak mau berpura – pura sederhana, aku pun tak mau berpura – pura mewah. Terserah mereka mau bilang apa. Memang orang mampu tak boleh masuk seminari? Atau apakah orang mampu tak boleh mencoba hidup bersama orang – orang kecil? Pemikiranku ini menguatkan aku. Pergi ke sanggar dan jadilah dirimu apa adanya, Iman adalah Iman.

Senin, 9 Februari 2009
Pagi – pagi aku bangun. Ibadat pagi, misa, dan sarapan.
Setelah sarapan, aku menyiapkan kembali barang – barang yang harus kubawa. Aku membawa 6 buah baju dengan rencana 2 baju akan kuberikan kepada 2 orang anak jalanan di sana, alat mandi, dan 2 celana pendek. Sekitar pukul 07:30 aku berangkat bersama tiga orang rekan sepanggilanku, yaitu Eno dan Carol. Aku berjalan keluar gerbang sambil mendengarkan cerita Eno tentang pengalamannya live in di Sanggar Akar. Dia pernah pergi ke Sanggar Akar, sedangkan aku dan Carol, menatap tempatnya lewat foto pun belum.
Kami naik angkutan Kota (saya lupa nomor berapa saja).
Setelah beberapa lama, Eno mengetuk langit – langit angkot yang kami tumpangi. Mobil umum itu pun berhenti. Ternyata kami telah tiba di tempat yang kami tuju. Kami menyebrangi jalan dan berjalan kaki ke sanggar tersebut. Ternyata letak sanggar tidak tepat di pinggir jalan, tetapi masuk melalui sebuah jalan kecil. Berbatu dan becek sedikit berlumpur. Rasa penasaran semakin meluap – luap nggak karuan.
Akhirnya kami tiba. Aku melihat sebuah bangunan dengan halaman yang lumayan besar, berpagarkan bambu. Lalu aku terus melangkah kedalamnya hingga aku melihat seperti sebuah kelas. Jangan berpikir bahwa rupanya seperti kelas pada umumnya. Ukurannya sekitar 2,5 x 3,5 meter. Temboknya setengah jadi, dalam arti masih terlihat bata merahnya, suasananya agak remang – remang karena hanya diterangi sebuah lampu yang sebenarnya sudah tak begitu baik. Di dinding ada sebuah whiteboard. Lantai tanpa ubin, hanya dilapisi oleh semen, dan juga tanpa bangku dan kursi. Jadi anak – anak sanggar tersebut duduk di lantai sambil menulis. Lalu kami bertemu dengan seorang pemuda dengan perawakan sedikit tinggi dan mereka menyambut kami. Ia menyambut kami padahal dia belum tahu siapa kami. Setelah menyambut dia baru bertanya amu ketemu siapa. Lalu saya berikan surat yang dititipkan oleh Fr. Hepi melalui saya. Di atas kertas itu tertulis sebuah nama, yaitu Bapak Arip. Lalu pemuda itu mempersilahkan kami duduk sementara dia memanggil Bapak Arip tersebut.
Sambil menunggu, aku duduk sambil melihat – lihat sekitar. Bangunan ini seperti rumah susun yang pernah aku lihat di dalam film Kung Fu Hustle. Lalu tiba – tiba muncul banyak pertanyaan di dalam pikiranku. Sanggar ini dapat biaya dari mana? Apakah mereka terikat jadwal juga seperti aku yang tinggal di seminari? Apakah setelah lulus dari sanggar ini, ijazah pendidikan mereka akan diakui oleh perguruan – perguruan tinggi di luar sana? Bla...bla...bla...Belum selesai aku bertanya – tanya di dalam hati, datanglah seorang bapak mengenakan pakaian seperti sweater lengan panjang berwarna coklat tua, menggunakan tas selempang berwarna hitam, menggenggam 3 spidol boardmarker di tangan kirinya. Potongan rambutnya mirip Pak Slamet, guru geografiku di SMA Gonzaga. Aku berpikir, dia pasti guru. Ternyata itulah Bapak Arip yang kami nanti – nantikan dari tadi. Ia memegang surat dari Fr. Hepi dan membukanya sambil bertanya, “Kalian dari SMA Gonzaga ya?” Lalu kami serempak menjawab, “ya.” Lalu kami menjelaskan maksud dan tujuan kami datang ke tempat itu. Lalu Bapak Arip menyebut nama Bekti, Hena, dan Vano. Saya terkejut kenapa bapak ini tahu mereka.
- - - - -Ternyata Fr. Hepi salah menulis nama kami - - - - - -
Lalu Bapak Arip membawa kami ke kamar dimana kami akan melepas lelah dan suntuk kami. Kami meletakkan tas kami dan barang bawaan kami. Ternyata kami masih harus menunggu Bapak Susilo, pimpinan di Sanggar Akar tersebut, karena beliaulah yang akan menentukan kegiatan apa saja yang akan kami jalankan. Setelah beberapa lama, akhirnya Bapak Susilo datang juga dan kami dibawa ke kantornya. Suasana kantornya masih bertembok setengah jadi juga, remang – remang juga, tetapi ada komputer di dalamnya. Aku berkata di dalam hati,”Oh,, ini kayak romo rektor kalau di seminari.” Lalu Pak Susilo menyampaikan banyak hal kepada kami mengenai sanggar, mengenai cara pendidikan di Gonzaga menurut keadilan di pikirannya. Sekitar 2 jam kami berbincang – bincang dengan Pak Susilo. Lalu kami diminta untuk membantu membereskan perpustakaan. Perpustakaan mereka rata – rata berisi buku sekolah, beberapa buku novel dan juga buku – buku discovery tentang flora dan fauna.
Setelah kami selesai membereskan susunan buku tersebut, kami beranjak kembali ke kamar. Lalu kami beristirahat, tidur untuk melepas segala lelah kami. Di hari pertama ini memang tidak ada pekerjaan yang bisa kami kerjakan, sehingga kami mengisi waktu kami dengan ngobrol di kamar dan juga tidur.
Kami tertidur sampai pukul 06:00.
Setelah kami berdua bangun, kami turun ke lantai paling bawah dan kami bertemu dengan 3 orang anak kecil. Mereka sedang asyik bermain lempung. Membentuk tanah liat tersebut menjadi berbagai rupa. Salah seorang anak itu berkata kepadaku,”Bagi kami, lempung ini sangat berharga.” Rasa – rasanya di Wacana Bhakti tanah liat seperti itu dianggap sebagai kotoran, tetapi bagi mereka itu adalah sebuah permainan yang sangat berharga. Aku menyadari kini bahwa sesuatu yang tidak berharga bagi kita, belum tentu tak berharga bagi orang lain. Setiap manusia mempunyai kesenangan mereka masing – masing, maka kita harus menghargai segala yang ada di sekitar kita, meskipun itu tanah liat sekalipun. Sering aku kesal dengan banyaknya jumlah sampah yang ada di sekitar lingkunganku, namun ketika aku melihat kehidupan para pemulung, mereka akan sangat bahagia berada di lingkungan yang penuh dengan sampah karena itulah yang menghidupi mereka. Bayangkanlah, sampah yang kita buang, dapat mempengaruhi ribuan nyawa pemulung. Sungguh sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Aku juga bertemu dengan seorang anak sanggar yang berusia 20 tahun, wanita, tomboy, Desboy namanya. Orang – orang memanggilnya Desboy. Dugaanku kata boy itu muncul karena tingkahnya yang kelaki – lakian. Ia menuturkan banyak cerita di hari itu. Ia bercerita tentang pengalaman buruk di dalam keluarganya. Yang ku tangkap, ia tinggal di lingkungan yang keras. Ia mengatakan bahwa orang tuanya sering memukuli anak anaknya. Cerita yang cukup megiris hatiku adalah ketika ia berkatea bahwa ayahnya pernah menendang kepalanya dan adik – adiknya. Ia juga punya seorang adik yang tinggal di dalam sanggar itu juga. Adiknya mempunyai kelainan seksual dan yang paling menarik untukku adalah dia seringkali menyampaikan cerita yang tak masuk di akal. Ia ingin sekali dipuji dengan cara menyampaikan cerita yang menempatkan dirinya sebagai tokoh yang hebat atau pahlawan. Satu hal yang kutangkap adalah mereka butuh perhatian. Entah dari siapa, tetapi perhatian itu sangatlah penting bagi mereka. Di dalam sanggar, mereka mendapatkan perhatian dari para pengasuh dan pembimbing, juga dari teman – tenman mereka sendiri. Oleh karena itu, aku memberikan perhatian kepada mereka dengan cara tersenyum, atau pun mendengar cerita mereka. Sekali lagi, suatu hal sederhana yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, sebuah senyuman pun dapat mempengaruhi hidup seseorang.
Hari ini berlalu tanpa kegiatan yang padat, hanya berbincang – bincang, lalu berjalan di sekitar daerah tersebut. Kami menelusuri tepian Kali Malang, dan melihat – lihat suasana yang sudah jarang kami lihat. Susana jalanan Jakarta di malam hari.
Sekitar pukul 10:50, kami tidur dan kami bersiap – siap untuk menerima tugas di hari berikutnya. ZZzzzzzzz..............

Selasa, 10 Februari 2009

Rencananya kami bangun pukul 06:00 pagi, kenyataannya kami bangun pukul 08:00 pagi. -_-!
Aku bangun awal, lalu mandi dan sarapan bersama anak – anak sanggar. Ternyata lauk yang mereka sediakan tidak jauh berbeda dengan lauk di seminari. Ada sebuah kejadian menarik yang kudapat pagi ini. Ada beberapa anak sanggar yang sudah cukup besar menjahili seorang anak yang mungkin masih duduk di bangku SD. Leman namanya. Awalnya mereka memang becanda, tetapi ujung – ujungnya mereka berkelahi. Memang tidak sampai pukul – pukulan, tetapi nuansa kekerasan masih lekat pada sikap dan kelakuan mereka. Tertampil sebuah kenyataan bahwa seorang ego terbentuk dari lingkungannya. Seperti misalnya pohon kaktus dan pohon beringin. Pohon kaktus dibentuk di tengah – tengah suasana yang keras, panas, sedikit air, sehingga dia mempunyai sosok atau bentuk yang berbeda dengan pohon beringin yang hidup di daerah tropis. Maka aku mempunyai sebuah kesimpulan di dalam pikiranku, bahwa keluarga dan pergaulan, pokoknyu segala yang bersentuhan atau berkontak langsung dengan indera kita, itulah yang akan membentuk sebuah kepribadian manusia. Leman adalah anak yang tergolong masih baru. Ia akhirnya ingin pulang, akibat kelakuan kaka kelasnya tersebut. Desboy pun menegur anak – anak yang jahil tersebut. Menurut pandangankau sendiri, teguran dari Desboy sangatlah berasalan. Alasannya adalah mereka lebih tua, seharusnya bisa bersikap lebih dewasa, yang kedua adalah Leman masih anak – anak dan masih baru. Namun teguran dari Desboy ini ditangkap lain oleh orang – orang tersebut. Mereka malah marah dan memaki Desboy sehingga perang mulut pun terjadi saat itu.
Sekitar pukul 09:00, kami mendapatkan tugas untuk mengajar anak – anak SD. Kami diminta untuk mengajar tentang ilmu sosial. Aku bukanlah seorang yang ahli dalam mengajar, maka yang mengajar adalah Eno dan Carol, sedangkan saya hanyalah membantu mereka.
Siangnya sehabis makan siang, kami pergi ke jalanan untuk mengamen. Eno, Carol, dan aku sendiri, ditemani oleh Desboy dan Leman mengamen di perempatan jalan. Awalnya kami mengamen berpasangan, dalam arti berdua – dua. Mula – mula Desboy sendiri, lalu aku beserta Eno. Nenek – nenek tua usia 300 tahun pun pastinya tahu bahwa aku bukanlah seorang pengamen, karena ada rangkaian kawat yang menempel di gigiku. Sebuah bukti permanen yang tak bisa terelakkan. Maka aku di situ tidak menempatkan diriku sebagai pengamen, tetapi sebagai seorang anak muda yang mau terlibat dan mau merasakan kehidupan orang – orang kecil. Pada kenyataan di lapangan, orang – orang menyangka kami bertiga adalah mahasiswa ospek, sehingga kami mendapat uang cukup banyak. Satu mobil bisa memberikan uang berkisar Rp 3.500,- sampai Rp 5.000,- pada kami. Meskipun memang ada beberapa yang memberikan Rp 500,-. Tetapi pendapatan kami cukup banyak hari itu. Berapa nominalnya, aku tak tahu persis. Lalu kami pindah tempat. Kami mengamen di dalam bis. Tetapi karena jumlah kami kali itu adalah 5 orang, maka tak mungkin seluruhnya dari kami bisa mengamen. Maka 2 orang berperan sebagai penumpang, dan 3 orang lagi sebagai pengamen. Yang mengamen ketika itu adalah aku, Eno dan Desboy. Sedangkan Carol dan Leman berperan sebagai penumpang dan membayar ongkos perjalanan.
Aku bermain gitar, Desboy yang bernyanyi, dan Eno yang memunguti uang. Begitulah, rasanya memang sulit hidup di jalanan. Cukup melelahkan juga. Tetapi sekali lagi aku cukup bangga dan merasa sangat beruntung bisa menjalankan tugas ini.
Akhirnya sampailah kami di Priok. Lalu kami mengunjungi rumah Leman. Leman ingin pulang, mungkin untuk menenangkan diri. Rumahnya sangatlah kecil dan terlihat jelas bahwa ayahnya adalah seorang pemulung. Mereka tinggal di Tanah Merah. Kawasan ini memang terlihat biasa saja dari luar. Tetapi jika anda masuk ke dalamnya, situasinya akan sangat menyedihkan. Daerah itu sebelumnya adalah rawa – rawa. Rumah yang dibangun, salah satunya rumah leman, berlantaikan air yang berbau dan juga disertai dengan sampah – sampah sisa rumah tangga. Bapak Leman berkata,”Maaf, beginilah rumah kami, hidup bersama kuman – kuman.” Ayahnya bercerita banyak tentang hidup. Inti dari ceritanya adalah tak perlulah menjadi seorang baik, cukup belajar baik. Ya, inilah kenyataannya bahwa hidup di Jakarta memanglah tidak mudah.
Lalu kami pergi juga ke rumah Desboy. Rumahnya sedikit lebih baik meskipun belum bertembok. Mempunyai rumah bertembok adalah impiannya. Sunguh mimpi yang sangat sederhana, namun bermakna. Kami mengobrol di rumah Desboy bersama keluarganya hingga pukul 18:00. Lalu kami pamit untuk pulang.
Sekitar pukul 18:30 kami tiba di sebuah halte di Priok. Di sana kami beristirahat sejenak. Setelah beberapa lama, kami melihat ada seorang bapak ( mungkin pekerjaannya adalah tukang ojek) memukul seorang anak jalanan. Tak bisa menahan emosi, anak jalanan itu pun melawan. Mereka hampir saja berkelahi di pinggir jalan tersebut. Melihat itu, teman - tamannya yang juga masih anak – anak lari menghampiri dan membela si anak jalanan tersebut. Begitu juga seorang tukang parkir datang dan menahan pukulan si tukan ojek tersebut. Aku sendiri tak terlalu mengerti duduk permasalahannya, yang jelas suasana di situ sangatlah keras.
Aku kini mengerti, bahkan sangat mengerti bahwa memang hidup di sebuah tempat yang suasana sehari – harinya keras, akan menjadikan anak – anak tersebut memiliki sifat yang tak jauh berbeda. Maka pelajaran ini dapat ku bawa ke asramaku nanti, bahwa sikap kakak kelas itu membentuk juga karakter dari adik – adik kelasnya. Dengan begitu sifat dari kakak – kakak kelas pun menentukan karakter dari Wacana Bhakti sendiri.

Rabu, 11 Februari 2008

Kami bangun pukul 07:00 bersama yang lain. Seperti biasa kami langsung mandi dan sarapan bersama mereka. Hari ini kami mendapatkan tugas untuk mengajar tentang Air dan Udara. Saya bersama Carol mengajar pada hari itu.
Siangnya setelah makan siang, kami pergi kembali ke daerah Priok untuk memulung sampah. Kami kembali masuk ke daerah rumah Desboy dan di sana kami meminjam sebuah gerobak untuk mengumpulkan sampah. Aku menarik gerobak, Eno membantu mengambilkan sampah dan Carol membawa karung untuk mengumpulkan samapah di dekat rumah – rumah. Tak mudah untuk menarik gerobak tersebut karena geroabk tersebut memang agak besar. Sesungguhnya yang menyulitkan adalah posisi dari roda di gerobak tersebut. Roda terletak di sisi luar gerobak, sehingga gerobak sering nyangkut –nyangkut gitu deh....
Belum berjalan lima meter, gerobak nyangkut di belokan gang.....
Lalu kami berkeliling – keliling ke jalan raya. Semua orang melihat ke arah kami bertiga. Berkali – kali kami dikira mahasiswa yang sedang di MOS. Tak ada pengalaman yang “Wah” dalam memulung hari ini, yang pasti semua orang bingung, ngapain nih anak – anak kota jadi pemulung? Dalam hatiku semoga mereka bisa mengerti bahwa di masa – masa ini pun masih ada orang – orang muda yang mau peduli dan mau merasakan bagaimana rasanya hidup menderita, jauh dari kenyamanan yang selalu di tawarkan di daerah kami.
Banyak celetukan – celetukan ku dengar dari orang – orang yang kami lewati. Terutama ketika kami melewati sekolah Cikini, ada seorang siswi berkata pelan, tapi aku mendengar, kira – kira seperti ini,”Ih, pemulungnya ganteng.” hehe.........( Tapi pastinya bukan buat gue tuch kata – kata ....seandainya ya....hehe....)
Yang menyakitkan hati adalah setelah kami bekerja sekian lama, kami hnya mendapat sekitar 4 kg sampah plastik dan kami hanya diberi upah sebesar Rp 6000,-. Buat bertiga????? Seandainya kami bertiga benar – benar pemulung, makan telek bebek deh.....
Oh, ya , kami juga diusir oleh pedagang warung karena ingin mengambil “koleksian botol – botol” kosongnya. Ternyata mereka juga sama seperti kami, senang mengoleksi botol – botol bekas....Mungkin suatu hari ini bisa menjadi sebuah hobi yang bagus.....
Ya, begitulah...pengalaman kami di sana....Hal yang menarik adalah di Kota Jakarta ini, orang bisa hidup dari sampah. Di desa saja tak ada pekerjaan seperti itu. Di Kota Jakarta yang namanya mendunia banyak orang yang membangun rumahnya di atas rawa yang berbau busuk. Di desa saja masih beralaskan tanah. Maka jangan pernah berpikir bahwa hidup di kota itu lebih baik. Menurut pandanganku sendiri, yang lebih baik hanyalah fasilitas dan gengsi. Tetapi kalau anda mau mencari kenyamanan, keamanan, sikap saling menghargai, persaudaraan, itu akan sangat jarang anda temui di Jakarta ini. Mencari hal – hal tersebut bagaikan mencari badak bercul satu. Mungkin lama – lama di Kota Jakarta ini akan di bangun Penangkaran Orang – Orang Baik. Idealnya adalah orang – orang baik yang bebas dan orang – orang criminal yang dikurung. Mungkin untuk kondisi sekarang ini menjadi terbalik. Orang – orang baik yang terpenjara oleh orang – orang kriminal (bukan orang – orang terpidana, tetapi kriminal secara moral).
Mungkin jika dibuat sebuah kurva, kemewahan dan kemurahan hati menjadi berbanding terbalik. Meskipun memang kita tak boleh memandang ini secara mutlak. Toh masih ada juga orang – orang yang mau peduli. Adanya sanggar itu adalah bukti bahwa kebaikan dan kepedulian masih hidup di kota besar ini. Teruslah berkembang dan jangan pernah merasa aku yang paling menderita, aku yang paling susah.
Jangan Mengeluh Meminta Sepatu Baru, Sebelum Kamu Melihat Orang yang Tak Punya Kaki. Itulah prinsipnya. Saling membantu satu sama lain dan syukurilah segala yang ada padamu sekarang ini.


*******

Refleksi Live-in

TIGA HARI DALAM PERJALANAN

Langkahku semakin berat
Berjalan menyusuri
Mondar-mandir di keramaian kota
Hati yang binggung lamaran kerja ditolak
Enggak tahu kenapa mesti kurang syaratnya
Andai saja aku punya harta yang melimpah
Aku takkan terhina
Pikir-pikir daripada ku melamar kerja
Lebih baik ku melamar kamu


Sebuah lagu yang sederhana tapi mempunyai makna yang lumayan dalam bagi perjalanan warga Ibu Kota Jakarta. Lagu ini sempat aku nyayikan saat aku menjadi pengamen di lampu merah Kalimalang dalam rangka menjalani Live in. Hidup di kota Jakarta tidaklah mudah,apalagi bagi anak-anak yang harus berjuang sendiri mencari nafkah.Ternyata banyak orang yang tidak lebih beruntung daripada saya pribadi,itulah salah satu hal yang aku dapatkan dari perjalanan Live in yang berlansung selama empat hari tiga malam.Perjalanan Live in ini aku anggap juga sebagai perjalananku untuk merefleksikan hidupku dan perjalanan panggilanku.
Awal Perjalanan Singkat
Aku memulai perjalanan Live in dari tempat aku tinggal yaitu di Seminari Menengah Wacana Bhakti.Aku ditempatkan di sebuah tempat yang bernama sanggar akar.Tidak banyak persiapan yang aku lakukan sebelum hari keberangkatan,aku hanya berpesan dalam diriku bahwa aku harus mempunyai niat yang benar-benar sungguh,di tempat yang asing aku adalah orang baru,aku harus bisa menghormati mereka yang memang tinggal di tempat yang aku singgahi istilahnya “Aku masuk lewat pintu mereka tapi keluar dari pintu yang Aku punyai”.Aku sudah siap dalam perjalanan ini.
Perjanan Live in dimulai,aku berangkat bersama dua orang temanku yang lain yang juga ditempatkan di tempat yang sama bersama aku.Sebelum berangkat disempatkan dulu untuk berdoa di depan Goa Maria tempat aku tinggal.Aku sempat khawatir karena hujan tiba-tiba mengguyur saat aku sampai di tengah perjalanan untuk mencapai tujuan.Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran aku sebelum berangkat adalah cuaca yang tidak menentu,hujan yang bisa datang sesaat-saat aku takutkan mengganggu rutinitasku nanti dalam menjalani perjalanan Live in,tapi saat aku coba untuk pahami hujan adalah sebuah bumbu dalam perjalananku ini,dimana hujan semakin membuat aku memahami bahwa Tuhan masih bekarya dalam dunia ini.
Aku tiba ditempat tujuan dengan disambut oleh salah satu pebimbing disana,kebetulan seseorang yang harus aku temui belum tiba sehingga aku menunggu beberapa saat.Sesaat aku menunggu,aku melihat sebuah ruangan yang terbuat dari batu bata merah,di dalam ruangan itu terdapat sekumpulan anak kecil yang sedang belajar.Mereka semua belajar sambil bercanda dan sangat lucu sekali,dalam pikiranku berkata bahwa mereka adalah anak-anak yang kurang beruntung tapi masih ada kegembiraan di antara mereka.Sehabis makan siang orang yang aku cari tiba,orang yang aku cari itu adalah Pak Susilo atau yang lebih akrab dipanggil Pakde seorang pemimpin di Sanggar Akar.Aku dan teman-temanku berbincang-bincang cukup lama intinya dia ingin aku lebih mengenal anak-anak sanggar yang terdiri dari bermacam-macam orang dengan karakter yang berbeda-beda di dalamnya.Dia ingin aku melihat hal yang selama ini tidak pernah aku lihat.
Sanggar Akar dalam cerita
Ternyata benar dalam perjalanan Live in ini aku melihat banyak hal yang sebelumnya belum pernah aku temui.Sanggar Akar adalah sebuah rumah singgah bagi anak-anak jalanan atau pinggiran.Anak-anak yang masuk ke dalam sanggar Akar masuk dengan masalah yang berbeda-beda,dari ketidakmampuan keluarga,kabur dari rumah karena kekerasan yang di dapat dari orang tua bahkan ada yang memang tak tahu keluarganya siapa.Di Sanggar aku dan dua orang temanku bertemu dengan seorang perempuan yang berumur sekitar 20 tahun yang membawa aku dan teman-teman memulai perjalanan yang aku bilang sebuah petualangan untuk mengerti perjuangan hidup yang sesungguhnya.Dia mengatakan hal yang menarik bagi diriku begini katanya”coba bayangkan berapa banyak tempat penampungan sosial bagi anak-anak jalanan tapi masih berapa banyak anak jalanan yang masih di jalanan berarti ada yang salah dari tempat penampungan sosial itu”.Dia memang sudah biasa untuk menjadi pembimbing bila ada yang Live in di Sanggar Akar.Satu hal yang menarik dalam dirinya dia mempunyai sejuta pengalaman hidup yang sangat menyetuh bagiku.Dimana dia yang sehari-hari menjadi pengamen setelah pulang sekolah.Awalnya dia tinggal di keluarga yang mampu tapi karena musibah kebakaran itu mengubah hidupnya dan keluarganya.Orang tuanya menjadi sering memukulinya apalagi setelah saudari perempuanya hamil di luar nikah,karena tidak tahan dia kabur dari rumah dan hidup dijalanan.Di jalanan dia belajar banyak hal dan mendapatkan banyak hal dari mencuri,menjadi copet bahkan di pernah menusuk seseorang tapi itu semua dilakukanya untuk bertahan hidup.Dia mengatakan bahwa hidup dijalanan harus nekat kalau tidak dia yang mati kita yang mati.Setelah mendengar banyak ceritanya untuk hari selanjutnya aku dan teman-teman diajak untuk berpetualang merasakan lansung turun untuk melihat kenyataan hidup dan kerasnya dunia.
Hidup dengan banyak orang dan bermacam-macam karakter dalam satu tempat bukanlah hal yang mudah apalagi datang dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda dan masuk ke dalam Sanggar dengan masalah yang berbeda-beda juga.Di depanku sebagai tamu yang berkunjung memang mereka kelihatan sopan-sopan saja dalam artian bagi mereka yang peduli dengan kedatanganku akan dengan mudah untuk sekedar menyapa aku dan bagi mereka yang memang cuek akan cuek dengan kedatanganku seakan mereka mempunyai dunianya sendiri.Saat pagi aku sempat mengobrol dengan seorang remaja seusiaku,dengan sopan ia memanggil aku dengan panggilan Kak yang menunjukkan bahwa ia peduli dengan orang disekitarnya.Banyak hal yang aku obrolkan bersama dengan dia dari kenapa dia masuk sanggar sampai perjuanganya hidup sebagai pengamen yang setiap hari di harus berantem dengan pengamen lain.Satu hal yang menarik bagi aku,dia bercerita tentang pengalamanya hidup dengan berbagai macam karakter di Sanggar,Dia mengatakan bahwa hidup di sanggat itu makan hati terus kerjaanya karena dengan teman kadang bisa jadi teman lalu kadang-kadang jadi musuh dalam waktu yang cepat.Dia bercerita bagaimana lemari penyimpanannya selalu dibobol oleh teman-temanya padahal sudah digembok dan itu sudah terjadi berulang kali,bagaimana setelah dia pulang mengamen teman-temanya selalu meminta uang kepada dirinya untuk membeli rokok.Di lain kasus aku melihat bagaimana anak yang lebih tua mengganggu anak yang lebih kecil dengan hal sudah kelewatan dan aku menyaksikanya itu sendiri bahkan yang lebih tua akan marah bila ada teman seusianya yang memperingatkan. Suatu hal yang menarik bagi aku ternyata setiap anak di sanggar mempunyai masalahnya sendiri-sendiri dengan teman-temanya lalu bagaimana mereka menghadapi itu,bahkan dari mereka kadang harus menyelesaikanya dengan cara kontak fisik yaitu berantem bahkan sempat ada yang memakai senjata tajam.Sebuah hidup yang memang keras bagi anak-anak yang semestinya belum merasakan itu semua. Ternyata banyak orang yang tidak suka kalau seorang anak jalanan hidup layak khususnya dari anak jalanan yang berpendapat bahwa hidup layak hanya menyusahkan saja.Beberapa anak jalanan dari luar kadang kala mengganggu anak jalanan yang berada di dalam.
Ternyata masih ada orang yang mau peduli dengan hidup anak-anak yang berada di sanggar.Banyak dari mereka yang memberi bantuan secara rutin kepada sanggar.bantuan yang mereka berikan kepada anak-anak berbagai macam ada yang memberikan bantuan berupa dana dalam bentuk barang seperti buku-buku atau perlengkapan balajar lainya.Ada juga yang membantu dalam tenaga seperti tenaga dalam mengajar beberapa macam pelajaran demi mengembangkan pendidikan anak-anak.Pendidikan memang menjadi hal yang penting dalam mencapai sebuah hal karena dengan pendidikan kita bisa melakukan banyak hal.
Musik menjadi pemersatu mereka.Di sanggar anak-anak yang sudah mulai dewasa memegang alat,walau alat-alat yang dimainkan sederhana tapi itu menjadi simbol pemersatu mereka.Dengan musik mereka seringkali mengisi acara untuk memperkenalkan sanggar.
Terjun ke dalam suasana ,Cerita dan Pengalaman
Terjun ke dalam suasana dan cerita itulah yang aku lakukan untuk mengetahui lebih dalam kehidupan mereka yang memang aku cari.
Mengajar merupakan salah satu kegiatan yang aku lakukan disana,karena kebetulan jurusanku di SMA ilmu Sosial maka aku di sanggar mengajar mata pelajaran geografi.Aku ditugaskan untuk mengajar anak-anak SMP,karena merasa aku mampu aku melaksanakanya.Saat aku masuk kesebuah ruangan baca yang dijadikan kelas ternyata mereka semua bukanlah asli anak-anak SMP tapi mereka anak-anak yang seumuran denganku bahkan ada yang lebih tua.Mereka semua bercerita bahwa mereka putus sekolah sejak kecil sehingga saat di sanggar baru kembali mendapat pendidikan.Saat aku mengajar aku sempat ragu tapi aku beranggapan bahwa aku bisa,sunguh suasana belajar yang sebenarnya bukan seperti mengajar SMP karena sebagian mereka masih buta akan pelajaran yang aku ajarkan.aku tahu mereka sangat antusias dengan pelajaran,itu bisa dilihat dari bagaimana mereka bertanya akan hal-hal yang sebenarnya sangat umum dan bahkan bukan waktunya lagi mereka menanyakan hal itu.Situasi belajar memang dikondisikan santai agar mereka tidak bosan untuk belajar dengan ada snack bahkan beberapandari mereka ada yang merokok saat pelajaran berlansung.Mengajar merupakan pengalaman menarik bagi diriku pribadi karena aku bisa membagi-bagikan penegetahuan yang aku miliki dan pengetahuan itu banyak berguna bagi mereka itu membuat aku merasa bisa berarti dan membantu mereka dalam beberapa hal.Mungkin memang aku tidak bisa membantu mereka secara materi tapi mungkin dengan beberapa bakat yang aku miliki aku bisa membantu mereka.
Seperti yang pernah aku katakan di atas bawah banyak sekali panti sosial atau penampungan anak-anak jalanan di Jakarta ini tapi berapa banyak anak jalanan yang masih hidup di jalanan berarti ada yang salah dari panti sosial.Dari cerita salah satu anak jalanan bisa diungkapkan bahwa panti sosial atau panti anak jalanan tidak seperti yang orang biasa bayangkan yang isinya mengurus anak jalanan dengan layak.Dari cerita yang saya dengar bahwa kebanyakan panti sosial memperlakukan anak jalanan tidak dengan layak mereka hanya menampung saja dan tidak secara serius mengurusi anak-anak jalanan.Suatu contoh yang saya dapat seperti ini misalnya,dalam tiga bulan berarti wanita mendapat menstruasi sebanyak tiga kali dan di dalam penampungan anak jalanan itu tidak diberikan pembalut sama sekali sehingga banyak darah yang berceceran di lantai.contoh diatas hanya merupakan salah satu contoh yang terdapat dari sekian banyak hal yang terjadi terkait dengan pelayanan yang tidak sesuai.Jadi bagaimana anak jalanan banyak yang tidak kabur dari penampungan sosial bila tidak pelayanan yang layak.Sebenarnya hal ini sudah disampaikan kepada pihak pemerintah atau lembaga sosial tapi seakan mereka semua tutup mata dan telinga akan ketidakadilan sosial yang terjadi.Sungguh sebenarnya ini sudah melanggar HAM karena memberlakukan manusia dengan tidak layak dan harus segera ditindak lanjuti kalau tidak semakin banyak anak jalanan yang terlantar dan tidak mempunyai masa depan yang baik.
Peraturan itulah yang selalu mereka keluhkan.Hidup di jalanan memang tidak mempunyai aturan yang membatasi mereka,walupun di jalanan ada tata etika antar anak jalanan tapi mereka bisa saja melanggar bila mereka tidak suka.Hidup di sebuah sanggar tidak seperti di jalanan,hidup di sanggar mempunyai sebuah aturan yang pasti dan tidak dapat dilanggar bila dilanggar berarti mereka harus keluar dari sanggar atau tempat penampungan sosial.Peraturan memang biasanya menjadi sebuah masalah karena memang seseorang yang tidak biasa dengan aturan pasti akan merasa sulit untuk menyesuaikan dan butuh waktu yang lama untuk bisa menyesuaikan.Hal ini pun pernah saya rasakan karena saya tinggal di asrama dan mempunyai peraturan-peraturan yang ketat.Saya butuh waktu yang lumayan lama untuk menyesuaikan dan menyukai peraturan dan menganggap peraturan itu bukan sebuah beban tapi sebuah kesetiaan.
Sekejam-kejamnya orang tua pasti tidak akan rela bila darah dagingnya sendiri menderita,tapi bagaimana bila ada orang tua yang sampai tega untuk menyiksa anaknya dan menyuruh anaknya bekerja mencari uang karena tidak betah sampai-sampai si anak tidak betah dan kabur dari rumah dan menjalani hidup selanjutnya di jalan.Kekerasan dari Orang Tua membuat kebanyakan anak memilih untuk pergi dari rumah.Dari yang bisa saya lihat kekerasan dari orang tua terjadi akibat pendidikan yang rendah dan ekonomi yang rendah juga.Banyak dari Orang Tua tidak mengerti kekerasan yang dilakukan pada anak dibawah umur bisa menimbulkan suatu luka batin yang mendalam pada anak dan membuat anak trauma sehingga berusaha kabur dan mungkin hidupnya semakin keras dengan cara tidak mudah bersosialisasi.Kebanyakan anak jalanan bisa kita lihat bahwa emosionalnya tinggi itu disebabkan karena kekerasan yang diberikan Orang Tua dan kehidupan jalanan yang memaksa mereka harus bertindak keras.
Mimpi-mimpi dalam hidup adalah yang mereka miliki saat ini,bermimpi memang tidak ada salahnya karena dengan mimpi hidup menjadi bersemangat dan perjuangan untuk mendapatkan mimpi itu menjadi lebih berarti.Anak-anak jalanan yang aku temui mempunyai banyak mimpi yang indah.Mereka banyak cerita kapada aku tentang mimpi-mimpi mereka,sebagai orang yang lebih dewasa aku senang mendengar mimpi-mimpi mereka.Sebagaian dari mereka ada yang ingin menjadi dokter dan ada juga yang ingin menjadi pengusaha tapi yang membuat aku terhanyut adalah ada dari mereka yang mimpinya atau cita-citanya ingin menjadi orang baik,dia bilang kalau orang baik di Jakarta semakin jarang saja dan menjadi orang baik itu lebih susah daripada menjadi seorang dokter.Mimpi mereka banyak sekali selain cita-cita mereka ada yang ingin membangun rumah dengan tembok dan kamar yang luas maklum sebagian dari mereka tidak mempunyai rumah atau rumah yang tidak layak dihuni manusia.Aku mendengarkan dengan setia sambil berkata di dalam hati sungguh mulia cita-cita mereka.Saat mereka mengakhiri cerita mereka aku sangat sedih sekali karena mereka berkata bahwa orang miskin dan anak jalanan seperti mereka hanya bisa bermimpi saja,karena untuk mewujudkan semua itu perlu uang yang banyak dan anak jalanan seperti mereka apa yang bisa mereka lakukan.
Sekali lagi aku katakan bahwa hidup sebagai anak jalanan tidaklah mudah dan itu aku rasakan sendiri dengan terjun sebagai pengamen dan pemulung.Uang lima ratus rupiah merupakan hal yang sangat berarti bagi mereka anak jalanan.Aku memulai perjalanan mengamen di lampu merah kalimalang,pada awalnya aku sedikit ragu apakah aku bisa,tapi dengan mental nekat akupun mulai menyayikan lagu dari mobil ke mobil,uang yang aku dapatkan lumayan,masing-masing setiap mobil memberikan uang Rp 500 sampai Rp 1000.Satu hal yang aku sadari masih kurang adalah aku masih belum bisa melepaskan statusku sebagai seorang pelajar,aku masih ragu-ragu untuk tampil sebagai pengamen.Setelah selesai di lampu merah aku mencoba untuk mengamen di bis menuju Tanjung Priok,satu hal yang aku tekankan aku harus benar-benar melepas semuanya,aku harus bisa menjadi seorang pengamen dari dalam.diri.Mencoba untuk mendalami peran sebagai pengamen merupakan hal yang tidak mudah rasa malu pasti kadang kala datang menghampiri.Aku mengamen sampai sore hari kira pendapatan yang aku dapatkan Rp 20000 tapi sebagian harus aku berikan kepada seorang pengamen kecil karena dia menangis karena setoranya kurang.Menjadi pemulung aku sudah mengira tidak semudah waktu menjadi pengamen.Aku mulai memulung botol-botol bekas dari mulai siang hari sampai sore hari.Benar yang aku takutkan datang hujan saat aku sedang memulung,Tpi karena harus memenuhi target dalam hujan aku terus berjalan.Dari pengalaman menjadi pemulung aku bisa tahu bagaimana ditolak orang,harus bersaing dengan pemulung lain sampai beratnya membawa gerobak semua itu aku rasakan dalam dinginya udara.Waktu sudah sore aku kembali ke tempat penghitungan ternyata dari semua botol yang aku dapat hanya ada 4 kg dan aku hanya mendapat uang Rp 6000 saja.Sungguh sangat melelahkan bekerja setengah hari hanya mendapatkan uang Rp 6000.
Saat aku melewati daerah Tanah Merah aku mengatakan sekali lagi dalam hatiku bahwa banyak orang yang masih hidup susah di Kota Jakarta ini dan aku merupakan orang yang masih beruntung.Bagaimana aku melihat keadaan di Tanah merah sebuah kampung yang berupa rawa yang selalu tergenang air dan akan selalu banjir saat hujan datang,Tanah Merah dikelilingi oleh tangki-tangki minyak plumpang yang bisa membakar semua kampung bila meledak.Sempat beberapa kali aku mengobrol dengan para penduduk Tanah Merah.Ada seorang Bapak yang mengatakan bahwa “Hidup di dunia ini sudah susah,banyak orang yang berpikir sampai ke planet dan orang Kaya bisanya Cuma membohongi orang miskin aja”.Dari banyak perbincangan dengan para warga kampung Tanah Merah aku mendapatkan banyak pelajaran baru,ternyata kadang kala mereka lebih maju dalam berpikir daripada orang-orang kaya hanya saja bila ingin bertindak mereka terhalang oleh banyak hal teknis.
Akhir Sebuah Perjalanan Singkat
Hidup di Jakarta sangatlah keras itulah apalagi bagi anak-anak kecil yang umurnya dibawah usiaku yang baru 17 tahun.Dalam Perjalananku aku melihat bagaimana mereka menangis karena sehabis digampar kerena kurang membayar setoran.mereka harus naik turun bis hanya untuk mendapatkan uang padahal bis melaju dengan cepat.Dari perbincangan dengan anak jalanan aku mendapatkan bahwa pekerjaan mereka sangatlah berbahaya dan aku kadang tidak pernah membayangkan kalau seusia mereka sudah bekerja seperti itu.Ada dari mereka yang pekerjaanya mencuri besi dari truck atau meniris minyak atau bensin dari tangki mobil pertamina yang sedang berjalan.Sungguh nasib mereka ditentukan di jalanan.
Setiap perjalanan pasti harus selesai yang perjalanan Live in yang aku jalani telah selesai.Banyak pelajaran baru yang aku dapatkan dari perjalanan Live in ini yang semuanya telah aku Ceritakan di atas.Bagaimana aku memahami banyak orang yang tidak beruntung dari aku,bagaimana anak-anak kecil harus bekerja mempertaruhkan nyawanya dan bagaimana susahnya menjadi pengamen dan pemulung.Aku merasakan itu semua dalam kejadian nyata,Mungkin banyak orang tidak tahu kalau ternyata untuk bertahan hidup memanglah tidak mudah.Perjalanan Live in memang sudah selesai tapi semangatku untuk kembali dan mengenal mereka lebih jauh belumlah selesai mungkin di lain waktu aku bisa kembali mengenal mereka.Ini merupakan semangat baru bagiku dalam menjalani perjalanan hidup,aku menjadi mengenal semangat itu bisa di dapatkan dengan niat yang kuat.Sebuah perjalanan yang menarik semoga aku bisa menjalani ini lagi dan bisa mengajak banyak orang semakin menyadari kehadiran orang-orang bawah.